Tampilkan postingan dengan label buletin. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label buletin. Tampilkan semua postingan

Senin, 05 Januari 2015

Faktor Hebat Generasi Sahabat



Ada suatu fenomena yang unik dan menarik yang pantas dijadikan perhatian dan bahan pikiran bersama untuk kaum muslimin saat ini. Fenomena itu ialah bahwa jika dilihat dan dipikirkan bahwasanya saat ini jarang sekali ada generasi yang hebat minimal mendekati generasi sahabat Nabi.  Memang tercatat dalam sejarah bahwa Islam pernah melahirkan suatu generasi menakjubkan yakni generasi sahabat Nabi. Yakni generasi pilihan dalam sepanjang sejarah Islam ataupun Manusia. Di mana orang-orang besar dan mulia berkumpul di satu generasi. Allah Yang Maha Bijaksana lah yang memilih generasi terbaik itu.
 Bila dibandingkan dengan keadaan ummat sekarang, yakni dengan banyaknya pesantren, Universitas maupun Lembaga-lembaga Islam lainnya, harusnya potensi untuk menciptakan suatu generasi yang minimal berkehendak (mau) untuk menyamai generasi sahabat ada dan sangat besar.  Ini lah fenomena unik yang patut dipikrkan bersama.

 Jika melihat dari sumber “Keber-Islaman” ummat hari ini dengan generasi sahabat, tidak ada yang berbeda. Al-Quran yang merupakan kalam Allah yang terjaga masih ada di tangan ummat saat ini. Persis, tidak ada secuil pun perubahan dengan yang ada pada generasi terdahulu. Begitu juga Hadist, Kisah atau Siroh Nabi shalallahu ‘alaihi wa salam , masih ada dan terang. Yang tidak ada hanyalah fisik Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa salam saja.

 Hal itu tak dapat dijadikan alasan, karena Islam merupakan rahmatan lil ‘alamin bukan rahmat lil kaum ketika Nabi hidup saja. Ummat bisa mengambil hikmah dari momen kematian Rasulullah , saat Abu Bakar mengungkapkan bahwa Islam tidaklah ‘habis’ ketika Nabi meninggal dunia. Karena Yang Disembah hanyalah Allah.  Nah, tentunya ada beberapa faktor kunci, apa yang dapat melahirkan generasi hebat seperti generasi sahabat yang diungkap oleh Sayyid Quthb dalam kitabnya Ma’alim fi Thoriq, antara lain

Faktor Pertama , sumber rujukan utama generasi itu ialah Al-Quran.
 Generasi sahabat lahir bukan pada saat tidak ada peradaban, budaya dan sebagainya. Ketika itu terdapat peradaban Romawi dan budayanya,ada peradaban Yunani dengan filsafat dan seninya, ada Persia dan peradaban-peradaban lain seperti India dan Cina. Namun Rasulullah saw. dalam membentuk, mengkader generasi sahabat dengan ‘mensterilkan’ mereka dari sumber lain dan merujuk utama kepada al-Quran. Ini terlihat dari peristiwa ketika Rasulullah saw marah kala Umar bin Khattab ingin mengambil rujukan utama dari sumber lain.

 Ini tak berarti Islam itu eksklusif. Apalagi seakan mengharamkan mengambil hikmah dari orang lain. Namun, masalah rujukan utama haruslah digunakan al-Quran. Karena dalam al-Quran terkandung manhaj Ilahi yang akan membentuk generasi yang bersih hatinya, akalnya, dan jiwanya dari segala pengaruh lain.

 Kalau kita menilik saat ini, sumber rujukan utama ummat Islam sudah bercampur dengan filsafat Yunani, logika mereka, legenda Persia, Israiliyat Yahudi dsb, Dalam menafsirkan al-Quran menggunakan cara Yahudi dsn.. Inilah yang  menjadi salah satu faktor yang menyebabkan ‘output’ dari ummat Islam saat ini berbeda. Hal ini disebabkan jauhnya Ummat dengan al-Quran itu sendiri dan Sunnah sebagai satu penjelas darinya. 

 Faktor Kedua, yakni Generasi Hebat Sahabat membaca al-Quran/ belajar Islam bukan untuk sekadar ingin tahu dan sekadar membaca, atau menambah ‘gelar’ atau  kepintaran. Namun, mereka mempelajari untuk mengamalkan demi perbaikan hidup pribadi, masyarakat dan sebagainya.

Mereka ibarat tentara di medan perang yang menerima ‘perintah harian’ yang segera dilaksanakan demi kemenangan. Dalam hadist Ibnu Masud terlihat bahwa para sahabat cukup mempelajari al-Qur’an sepuluh ayat pada setiap kesempatan dan beralih ke selanjutnya setelah melakasanakan isinya.  Rasa untuk menerima perintah dan mengerjakan inilah yang jarang diterapkan oleh Ummat Islam saat ini.  al-Quran yang diturunkan secara berangsur-angsur juga menyiratkan secara jelas bahwa ajaran Islam begitu realistis dan solutif. Ketika ada suatu problem maka turun ayat. Inilah sinyal bahwa konsep Islam ialah ilmu dan amal.  Konsep mempelajari untuk dilaksanakan dan diamalkan inilah yang juga merupakan faktor pendukung generasi hebat.
 Ini bukan berarti menafikan keutamaan ilmu dan pemiliknya , karena Ilmu dan pemiliknya memiliki tempat mulia dalam Islam. Namun, yang menjadi tekanan ialah bahwa ilmu yang sudah didapat hendaknya berpengaruh terhadap amal. Kalau ditilik bagaimana kaum kafir (orientalis) juga mempelajari Islam bahkan tak jarang para orientalis lebih tahu akan suatu hukum Islam daripada kaum muslimin sendiri. Akan tetapi, kaum orientalis tidaklah ‘mengamalkannya’ dengan masuk Islam , niat mereka hanya tahu untuk dicari kesempatan untuk membuat isu tidak benar tentang Islam.

 Faktor Ketiga, pada generasi terdahulu, ketika mereka masuk Islam, akan melepaskan seluruh kejahilian masa lalunya dan memulai era baru.  Jika suatu saat mereka terperdaya oleh nafsu atau kembali melakukan kebiasaan dahulu, maka saat itu mereka langsung merasa berdosa dan bersalah. Lalu mereka  pun menyucikan diri dan berusaha berjalan sesuai dengan petunjuk al-Quran.

Ada pemutusan emosional secara total antara masa lalu kejahiliannya seorang muslim dan masa kini keislamannya. Namun, bukan berarti tidak bermuamalah, karena hal ini tentunya berbeda. Mereka melepaskan kaitan dari situasi dan kondisi jahiliah, tradisinya, pola pandangannya, kebiasaannya dan ikatan-ikatannya untuk kemudian memulai hidup baru bersama Islam.

Pola Perkaderan
Oleh karena itu, dalam ‘perkaderan’ setiap pribadi muslim , hendaknya kembali kepada sumber murni ialah al-Quran tanpa tercemar dengan sumber lain seperti filsafat Yunani, Israiliyat Yahudi dan sebagainya. Selain itu, hendaknya dibangun kembali rasa serta sikap menerima untuk dilaksanakan dan diamalkan bukan sekedar tahu. Karena dengan mengamalkan akan dirasakan  sendiri keindahan-keindahannya dan juga sebagai ‘magnet’  bagi ilmu yang belum dipelajari. Kemudian, seharusnya berusaha membersihkan diri dari tekanan masyarakat jahiliah, pola pandang, tradisi, dan jahiliah-jahiliah lainnya.

 Perkaderan akan melahirkan keluaran. Input dan proses akan melahirkan ouput. Dan semoga proses perkaderan ummat saat ini dapat mengeluarkan generasi yang hebat minimal mendekati generasi sahabat melalui faktor-faktor hebat dari generasi hebat yang diungkapkan oleh Sayyid Quthb di atas. Aamiin.  Wallahu musta’an

Kamis, 06 November 2014

Penyebaran Buletin edisi ke-2

Alhamdulillah Buletin Islam al-Muyassar Aek Kanopan edisi kedua, bulan Muharrom 1436 H sudah tersebar. In Syaa Allah sobat Labura bisa jumpai di Masjid-masjid berikut ini :

Masjid Raya al-Aman, Aek Kanopan
Masjid Taqwa Aek Kanopan Barat, Jln. Serma Maulana (Lorong 4)
Masjid Al-Amin, Kp. Tarutung
Masjid al-Ikhlas, Lorong IV, Wonosari
Masjid Wasathan, Jalan Utama Wonosari
Masjid al-Makmur, Wonosari
Masjid Ar-Rahman, Jalan Kapten Zubit Aek Kanopan (lorong 6)
Masjid Jami' Aek Kanopan, Jalinsum
Masjid Baitul Iman, Jln. Sukarame Ledong Timur
Masjid an-Nur, Ledong Barat
Masjid al-Hidayah, Padang Gala-gala, Dusun 1, Ledong Barat
Masjid al-Falah, Gunting Saga
Masjid Suka Mulia, Damuli
Masjid Raya, Simpang Siranggong

Semoga Barokah :-)

Alhamdulillah Alhamdulillah Alhamdulillah

Sabtu, 01 November 2014

MENCARI KETELADANAN YANG HILANG



Ilham Budi Permana, S.Pd

            Kita sudah tahu bahwa proses berhasilnya pembelajaran sangat didukung oleh keteladan dari sang pendidik. Tidak hanya kompetensi professional atau keilmuwan yang dibutuhkan tapi juga kompetensi kepribadian. Banyak guru yang tak seimbang mengkombinasikan keduanya.
            Guru memiliki tugas ganda yaitu sebagai pengajar dan pendidik. Peran sebagai pengajar yaitu fokus pada transfer ilmu pengetahuan yang dimiliki guru kepada siswa. Dan peran sebagai pendidik yaitu kontinu untuk menanamkan nilai-nilai kebenaran dan karakter mulia membentuk generasi penerus bangsa yang berdayaguna.
            Dulu profesi guru dipandang sebelah mata oleh sebagian orang. Dengan dalih bahwa guru itu tidak menjanjikan kesejahteraan. Miskin, sederhana dan tidak. Sehingga dahulu para orangtua kurang mendukung bila anaknya ingin menjadi guru. Para orangtua bangga bila anaknya menjadi dokter, insinyur, atau pejabat, bukan bangga menjadi guru.
Tapi berbeda dengan sekarang. Profesi guru sudah mulai dipandang dengan mata terbuka oleh rakyat Indonesia. Buktinya pemerintah telah menggelontorkan sejumlah fasilitas kesejahteraan hidup bagi seorang guru, apakah itu sertifikasi dan lain-lain. Bukti lainnya jika ada lowongan pendaftaran CPNS guru banyak anak bangsa yang ‘bernafsu’ untuk meraihnya.
Kita lihat dan baca dari sejarah bahwa sebuah Negara Jepang ketika luluh lantak oleh bom sekutu yang merusak dua kota besarnya yaitu kota Hirosima dan Nagasaki, apa yang dikatakan oleh pemimpin Jepang saat itu? Ya pemimpin Jepang saat itu berkata,” apakah masih ada guru? Ini membuktikan bahwa Jepang sangat menghargai ilmu. Bahkan Jepang sempat pernah meminta izin kepada sekutu yang mengebomnya agar memberi kesempatan kepada pemuda-pemuda Jepang supaya bias belajar di Negara Paman Sam tersebut. Apa hasilnya? Kini Jepanh menguasai perekonomian dunia setelah AS dan Cina. Produknya hadir di belahan dunia menghiasi kebutuhan rakyat dunia, meliputi: elektronik, barang-barang rumah tangga dan dan masih banyak lagi yang lainnya. Dan Jepang merupakan salah satu ikon kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi  di masa sekarang.
Kita dengar dan baca juga bahwa dahulu Malaysia pernah meminta Indonesia untuk mengirim guru-guru terbaiknya supaya bisa mengajar di Malaysia. Dan apa hasilnya kini? Sekarang Maalaysia lebih unggul beberapa langkah dari Indonesia? Kenapa itu bisa terjadi? Jepang dan Malaysia melaju pesat menembus pasar dunia dan jauh meninggalkan Indonesia? Ya, jawabannya karena mereka meanghargai budaya ilmu.
Sebenarnya bangsa Indonesia juga memiliki anak bangsa yang cerdas. Tidak bisa dipukul rata bahwa semua rakyat Indonesia itu tidak melek pengetahuan. Bahkan ada di antara anak bangsa yang namanya sempat meroket terkenal di dunia dengan keahliannya membuat pesawat terbang, yaitu Bapak B.J. Habibi.
Walaupun kita mengakui bahwa sebagian generasi penerus bangsa Indonesia itu sebetulnya cerdas tapi akankah pemerintah dan pembuat kebijakan di negera ini sudah memberikan teladan bagaimana menghargai jerih payah, perjuangan dan pengorbanan para guru di Indonesia??? Tentu kita yakin bahwa masih ada orang-orang yang peduli dengan kemajuan bangsa ini, mereka tersebar dimana-mana. Di antara mereka para penghuni bangsa ini ada yang hatinya perih melihat porak-porandanya kelakuan elemen bangsa ini. Pejabat, pengusaha, guru, tokoh agama, pemuda bahkan anak-anak Negara ini sedang membutuhkan KETELADAN yang telah hilang.
Bukan Hanya Tugas Guru
Memberi keteladanan bukanlah hanya tugas guru, tokoh masyarkat dan pemuka agama tapi tugas inio diemban oleh semua warga. Wemua warga punya andil yang besar dalam mewujudkan keteladanan ini. Orang-orang besar selain berilmu juga sangat menonjol aspek baiknya sikap dan keteladan yang dia tularkan kepada orang-orang.
Kekuatan keteladan mengalahkan ribuan teori tentang pembentukan karakter bangsa. Seperti sebuah ungkapan contoh/bukti nyata lebih berarti daripada janji seribu kata. Ini berarti kita semua punya andil untuk memberi keteladan sesuai porsi kita.
Kita rindu pejabat yang peduli rakyat miskin dan terbelakang, pengusaha yang peduli dengan kejujuran membantu pengangguran, terutama guru yang mengajarkan ilmu dan keteladanan kemuliaan kepada semua siswanya. Juga rakyat yang mendukung dan mendoakan pemimpinnya agar tetap istikamah di jalan yang benar.
Keteladanan itu salah satu syarat agar bangsa Indonesia bisa bangun dari keterpurukannya. Keteladanan yang dibarengi dengan ilmu dan keyakinan yang mendalam agar bangsa ini di atas kemajuan dan menjadi pemegang peradaban mendatang. Ini tugas semua elemen bangsa.
Faktor Penumbuh Dan Penyubur Keteladanan
Sedikitnya ada lima faktor yang menumbuhkan dan menyuburkan keteladanan yaitu: Pertama, pendidikan keluarga yang mengajarkan akhlak/keteladanan kepada seluruh anggota keluarganya. Bangun pagi, sholat shubuh, membersihkan rumah, meletakkan barang pada tempatnya, dan musyawarah mencari solusi masalah keluarga yang dilakukan oleh semua penghuni rumah adalah sebagian contoh dari penanaman karakter yang baik dan keteladanan yang menghunjam lama di dalam hati. Pendidikan keluarga ini lebih lama tertanam dalam sanubari setiap anggota keluarga karena seringnya berinteraksi.
Kedua, sekolah yang mengedepankan ilmu dan keteladanan. Ini terlihat dari perilaku guru sebagai pengajar dan pendidik dan didukung oleh warga sekolah yang mengedepankan akhlak mulia. Seperti membiasakan datang sebelum bel berbunyi, salam dan sapa sesama civitas sekolah, membuang sampah pada tempatnya, berdoa sebelum dan sesudah belajar sampai kedisiplinan peraturan di sekolah adalah di antara penanaman keteladanan yang membekas.
Ketiga, lingkungan tempat tinggal yang baik. Indikator baiknya elemen ini terwujud dari kesadaran masyarakat untuk beribadah di tempat ibadah di lingkungan mereka, kerja bakti membersihkan jalan, tegur sapa antar warga, menolong sesuai kemampuan pada yang kesusahan, menjenguk warga yang sakit, belajar mengaji, dan seperangkat kebiasaan baik masyarakat lainnya. Bila hal ini baik maka akan lebih mudah melangkah untuk selanjutnya mewujudkan langkah ke empat.
Keempat, keadilan para penegak hukum. Hukum yang berlaku ditaati seluruh rakyat, apkah dia pejabat atau rakyat semuanya tunduk dan patuh pada hukum. Besarnya hukuman sesuai dengan kesalahan. Dengan adanya keteladanan para penegak hukum maka negeri ini akan lebih cepat meraih kesejahteraan.
Kelima, sistem dan undang-undang yang dipedomani oleh masyarakat harus jelas dimengerti oleh semua rakyat. Selain itu juga hukum memberi reward and punishment pada pelakunya sesuai kadar perbuatannya. Sistem yang benar dan kuat ditopang oleh kemauan bersama mewujudkan Indonesia yang memberi teladan. Maka sebentar lagi bangsa Indonesia akan tampil member keteladanan di kancah dunia.
Penutup
Semua elemen bangsa ini sedang haus keteladanan. Sekecil apapun keteladanan itu akan terus dikenang dan menjadi tradisi generasi bangsa. Generasi yang mewarisi indahnya menjadi, dan kontinu memberi dalam keteladanan. Air keteladanan itu akan menghilangkan dahaga keringnya karakter dan pribadi bangsa ini. Semua memiliki andil dalam keteladanan yang mulia ini.
                                               
 Penulis adalah seorang guru di Kisaran, alumni Unimed.
           

Belajar Dari Cermin



Oleh : Islahuddin Panggabean


Masyarakat secara sederhana dapat diartikan ialah sekumpulan orang yang memiliki hubungan tetap.  Ajaran Islam menghendaki masyarakat yang ideal dalam aspek moralitas. Karena itu, setiap pribadi muslim diwajibkan untuk memperbaiki kualitas dan moralitas pribadi sehingga orang lain atau masyarakat dapat meneladani kebaikannya. Sehingga dengan pribadi-pribadi baik dan bermoral akan terciptalah masyarakat yang islami.  

Mengenai hal ini, dalam sebuah riwayat dari Imam Ath-Thabrani yang berasal dari Sahabat Nabi. Anas bin Malik ra. Bahwa Nabi bersabda, “Seorang mukmin adalah cermin bagi mukmin yang lain” (Hadist ini dinilai hasan oleh Imam As-Suyuthi dalam kitab Al-Jami’ush Shaghir). Sepertinya pribadi seperti cermin ini adalah pribadi yang ingin dibentuk Nabi. Yakni Pribadi yang dengan keteladanan yang diberikan dapat memotivasi orang lain untuk berbenah diri. Seperti cermin yang mendorong sesiapa yang berdiri di depannya untuk merapikan diri.

Setidaknya ada beberapa hikmah dan pelajaran berharga serta konsekuensi yang dapat dipetik dari perumpamaan “seorang mukmin bagaikan cermin.” Pertama,  seorang mukmin harus menjadi teladan kebaikan bagi mukmin lain. Sebab orang lain akan melihat dan memperhatikan serta meniru sifat, perkataan maupun perbuatannya. Bila ia menginspirasikan kebaikan, maka tentunya pahala jariah didapati. 

Kedua,  seorang mukmin punya tanggungjawab sosial untuk memperbaiki masyarakatnya. Ia harus selalu mendatangkan perubahan yang baik bagi mereka. Layaknya cermin yang selalu membawa perubahan bagi siapa yang berdiri di depannya, membuat mereka merapikan apa yang masih acak-acakan, membersihkan kotoran yang menempel pada diri. Terlihat dari bayangan yang timbul dari cermin.

Ketiga, menyadari bahwa sebagaimana cermin ia bisa mempengaruhi dan dipengaruhi orang lain. Orang beriman saling menjadi cerminan. Bila yang di depan cermin baik penampilan, maka bayangan yang timbul pastinya juga indah. Namun bila yang bercermin buruk rupa, bayangan cermin tentu sama. Karena itulah, seorang mukmin senantiasa menjaga agar perilakunya tidak berdampak buruk pada orang lain dan juga menjaga pergaulan serta selektif memilih teman karib sebab agama seseorang sesuai dengan temannya.
Selain itu, dari cermin itu sendiri kita juga dapat belajar kebaikan, antara lain:
a.  Kualitas terbaik dari terbaik. Kaca termasuk barang yang terbuat dari pasir dari jenis terbaik bila dibandingkan dengan barang lain seperti keramik, batako. Nah, dari jenis kaca dipilih pula jenis terbaik untuk dijadikan cermin.  Begitulah kesadaran yang mesti dibangun oleh seorang mukmin. Bahwa ia dilahirkan sebagai manusia, makhluk yang dimuliakan Allah. Di antara miliaran manusia, Allah juga telah memilihnya untuk menerima anugerah iman dan Islam. Kesadaran ini tentunya melahirkan sikap izzah sebagai seorang mukmin. Dengan izzatul Islam yang bersemayam di dirinya, diharapkan pula fungsinya sebagai khoiru ummah.

b. Bermanfaat bagi semua kalangan¸ bahwa cermin merupakan kebutuhan pokok bagi yang ingin memperbaiki penampilan. Dia bisa terlihat di setiap bangunan yg menjadi tempat tinggal manusia, mulai dari kantor, hotel mewah hingga gubug reot pun ada. Begitupula seorang mukmin yang mesti menjadi sosok yang dibutuhkan semua kalangan dan menebar kemanfaatan pada semua orang tanpa membedakan. Sesuai pesan Nabi, “khoirunnas ‘anfauhum linnas”.

c. Menasihati dengan Bijak, setiap orang yang bercermin pasti akan mengikuti nasihat sang cermin. Setiap mukmin hendaknya meneladani cermin dalam memberikan nasehat dengan memperhatikan adab-adab memberi nasehat, tidak berkata kasar, tidak arogan ataupun tidak beserta niat untuk menjelek-jelekkan orang yang dinasehati. Adab terbaik dalam menasehati ialah sebagaiman becermin. Saat ingin bercermin umumnya seseorang itu akan bersembunyi demi merapikan diri. Begitupula menasehati seseorang yang terbaik adalah dengan sembunyi-sembunyi tidak menasehati di depan umum.

d. Menjaga rahasia,  Cermin selalu menjaga rahasia orang yang pernah berdiri di depannya. Ia tidak pernah membocorkan kepada pihak lain tentang jeleknya wajahnya, kusutnya pakaiannya, berantakannya make upnya dsb. Karena itu, setiap mukmin wajib menjaga rahasia saudaranya dan menutup aibnya. Sesuai sabda Nabi, “Barangsiapa menutupi aib seorang muslim, maka Allah akan menutupi aibnya di dunia dan akhirat.” (HR Muslim)

e. Jujur, cermin tidak pernah berbohong kepada orang yang berdiri di depannya, kalau masih acak-acakan, maka ia akan memperlihatkan bayangan yang acak-acakan pula, kalau rapi, maka bayangan pun akan rapi. Seorang mukmin senantiasa jujur kepada siapapun dan berada di manapun, kecuali hal-hal yang dibolehkan syariat seperti saat berperang, mendamaikan dua orang yang terlibat perseteruan dan membahagiakan istri.

f. membutuhkan orang lain untuk menjaga dan membersihkan, meskipun cermin memiliki sifat kebaikan, ia juga punya kekurangan. Ia akan pecah kalau tidak dilindungi, ia akan berdebu kalau tidak dibersihkan secara rutin. Jadi sehebat apapun orang mukmin, ia tetap memerlukan orang lain. Ia butuh hidup di lingkungan orang-orang sholih. “Hendaknya kamu senantiasa komitmen terhadap jamaah, karena setan akan bersama orang yang sendirian dan dari dua orang (atau lebih banyak) ia akan lebih jauh.” (HR Ahmad)


Orang beriman ialah manusia yang mengambil hikmah walau darimana saja datangnya.  Meskipun dari sebuah cermin. Wallahu’alam

Meneliti Diri Sendiri

Oleh :
Islahuddin Panggabean
@almuyassargroup

Tak ada gading yang tak retak, demikianlah bunyi pribahasa. Bahwa Gading itu dinamakan gading, justru karena retaknya. Peribahasa yang memuat makna kiasan terhadap manusia. Pada umumnya manusia itu pasti memiliki kekurangan. Dan karena adanya sifat kekurangan itulah makanya dia dinamakan manusia. Dalam bahasa Arab dinamakan “insan” yang memiliki sifat “nisyan” atau pelupa. Berangkat dari sifat pelupa inilah maka Islam mengajarkan selalu nasehat-menasehati, ingat-mengingatkan. Islam melarang pemeluknya untuk berlaku sombong atau belagak pandai segalanya.

Walaupun demikian, kenyataan sebagian manusia kurang rela jika kepadanya disampaikan nasehat atau kekurangan yang ada pada dirinya. Apalagi bila kekurangan yang ada padanya itu berujung dosa. Kesalahan yang bermuara ke dalam api neraka. Anehnya, yang sepatutnya ia berterima kasih, justru si pemberi nasehat dinilai sebagai ‘lawan’. Manusia justru kerap mengharapkan pembiaran, pembolehan bahkan pujian terhadap kekurangan yang bisa berakibat dosa itu. Mungkin setelah dia hancur lumat baru ia tersadar.

Sebuah hadist yang diriwayatkan Dailamy berasal dari Anas, bahwa Nabi Muhammad saw. Pernah berkata, “Berbahagialah seseorang yang mau meneliti cacat dirinya sendiri daripada memperkatakan cacat orang lain.” Cobalah renungkan bunyi hadist dan resapi ke dalam hati dan jalarkan hingga tulang sumsum. Sungguh, jika ajaran ini menjadi sesuatu yang diwajibkan untuk diri setiap orang, maka alangkah indah dunia. Dunia akan diselimuti kedamaian. Tidak akan ada lagi para pelakon sandiwara yang akan mengeluh di atas pentas dunia.

Sebenarnya , cacat atau kekurangan itu awal mula diketahui oleh si empunya diri sendiri. Namun, diri itu kerap menganggapnya sebagai angin lalu tidak dicermati secara mendalam. Banyak kekurangan yang terdapat dalam setiap pribadi, baik itu kekurangan ilmu, pengetahuan, dan sebagainya. Tetapi yang paling utama dijadikan sasarana penelitian ialah bidang akhlak. Sebab inilah barometer yang akan menentukan nilai manusia itu. Banyak orang yang berpredikat sebagai sarjana, pejabat tinggi negara, bahkan ustadz tetapi karena kebejatan moral, nilainya menjadi rendah. Dan pada hakikatnya fungsi ilmu pengetahuan itu adalah membedakan baik dan buruk. Bukan hanya sekadar diketahui tetapi direalisir sebagai perangai dalam kehidupan.

Imam al-Ghazali mengajarkan 4 cara untuk mengenal cacat diri, yaitu. Pertama, suka mendengarkan ajaran Guru (ulama). Duduk menghadap guru yang mendengar ajaran-ajaran agama. Sehingga dia akan mengetahui dan dapat membedakan antara yang baik dan buruk, pahala dan dosa. Jika  guru tersebut membahas berketepatan dengan kesalahan-kesalahan, tentulah menjadi moment melakukan perubahan. Jangan diteruskan perbuatan masa silam serta jangan ukur benar salah suatu perbuatan hanya pada selera. Guru yang dimaksud pun harus guru yang benar, kapasitas keilmuannya shohih dan berdasar al-Quran dan Sunnah.

Kedua, mencari kawan yang mau mengawasi dirinya. Unsur kedua ini agak susah mencari dan juga mempraktekkannya. Jarang terjumpai kawan yang mau menunjukkan kekurangan awak. Terkadang, bukan karena kawan itu tidak mau, tetapi takut menyinggung perasaan yang membawa keretakan. Karena itu perlulah dalam pertemanan dibangun sikap nasehat-menasehati secara jujur dilandasi dengan keikhlasan.

Khalifah Umar bin Khattab dalam pemerintahannya mengangkat Salman sebagai petugas khusus mengamati tindakannya dalam memegang amanah.  Suatu ketika beliau bertanya pada Salman tentang berita-berita dirinya yang kurang disukai masyarakat. Selain pada Salman, Umar juga sering berkonsultasi pada Hudzaifah apakah ada sifat-sifat munafik yang terdapat pada diri Umar. Subhanallah.

Seorang Hukama, Dau At-Thay terpaksa memisahkan diri dari orang banyak karena sering diberikan pujian seraya berkata, “Apa yang harus kuperbuat terhadap orang-orang yang menyembunyikan cacat-cacat diriku di hadapanku?”

 Ketiga, mengambil faedah dari mulut musuh. Umumnya, seseorang yang merupakan musuh tentu membeberkan kekurangan diri kita. Ada kalanya kekurangan diri yang selama ini tertutup terungkap. Perbuatan musuh yang mengungkap kesalahan dan kekurangan bahkan bisa jadi lebih bermanfaat bagi diri kita bila mau memperbaikinya. Ketimbang perbuatan palsu orang yang mengaku ‘kawan’ tetapi perilakunya hanya menjilat.
Keempat, bergaul dengan orang banyak. Manusia adalah makhluk sosial. Makhluk yang hidupnya harus bergaul, haru bersentuhan dengan orang lain. Dari hubungan-hubungan itu tentu banyak kesan yang timbul. Ada yang baik, ada pula yang buruk tentang kita. sebagai ummat beragama tentulah apa yang baik itu ialah yang mengandung unsur agama atau sesuai keridhaan Allah. Kesan-kesan yang dinilai orang banyak terhadap agama atau akhlak kita hendaklah menjadi cerminan untuk berperilaku ke depan.

Demikianlah 4 cara yang diajarkan oleh Imam Ghazali kepada manusia untuk mengetahui cacat-cacat dirinya. Seteleh mengetahui tentu timbul keinginan untuk memperbaiki atau menyempurnakan. Ditambah mana yang kurang. Dikurangi mana yang berlebih. Semoga.