Minggu, 19 Februari 2017

Wanita Yang Teruji

Al-Mumtahanah berarti perempuan yang diuji. Surah al-Mumtahanah cukup banyak berbicara tentang bagaimana menempatkan rasa cinta dan kasih sayang. Bahwa sebuah sikap atau perasaan sebentuk cinta dan kasih sayang maupun benci itu mesti ditempatkan pada tempat yang baik dan benar yakni karena Allah.

Bahwa tiada boleh kaum beriman itu bercinta, bermesra ria, akrab pada kaum kafirin, apalagi yang terang-terangan memusuhi Islam. Akan tetapi, bagi kaum kafir yang tidak memerangi dan tidak menjajah serta tidak mengusir kaum beriman dari negerinya tidaklah mengapa untuk saling hormat-menghormati. Bersikaplah adil pada mereka. Asma’ bin Abi Bakar kala itu bertanya pada Siti ‘Aisyah untuk disampaikan pada Rasulullah, bahwa bolehkah dia (Asma’) berbuat baik pada Siti Qatilah (ibu kandungnya) yang kafir. Sebab tanya tersebut , turunlah ayat 8 surah al-Mumtahanah bahwa Allah tiada melarang berbuat baik pada orang kafir yang tidak memusuhi agama Allah...

Subhanallah..

Al-Mumtahanah sebagaimana artinya yakni perempuan yang diuji. Khususnya berkenaan dengan muslimah yang berhijrah ba’da perjanjian Hudaibiyah. Tatkala itu, datang wanita mukminah dari Mekkah atas dorongan iman hendak ikut ke Madinah , berlindung di bawah naungan Islam. Seperti Ummu Kultsum binti ‘Uqbah, Umaimah binti Basyir, Sa’idah. Namun sebab di pasal perjanjian Hudaibyah belum ada membahas khusus wanita, dan kaum kafirin pun menuntut wanita-wanita itu kembali, maka Nabi menunggu keputusan dari-Nya. sehingga turunlah ayat-ayat surah al-Mumtahanah menjawabnya..

Turunlah ayat yang memerintahkan Nabi untuk menguji para wanita tersebut. Apakah mereka hijrah betul-betul dilakukan karena Allah, karena Iman bukan karena ingin melepaskan diri dari suami, bukan karena mencari keuntungan pribadi, bukan karena ada yang orang yang dicintai di Madinah sehingga agama dijadikan topeng.

Kaum wanita mukminan itu pun lulus dari ujian tersebut. Mereka bersumpah bahwa mereka benar-benar hijrah karena keimanan. Setelah itu, mereka itu pun dilindungi dan tidak dikembalikan pada suami-suami mereka yang musyrik. Menjadi terang dan tegaslah bagaimana sikap kaum beriman terhadap hubungan cinta.

Dikembalikanlah kepada suami mereka mahar yang telah diberikan. Alhasil, mereka pun bisa dinikahi oleh sesama insan beriman. Sebaliknya , kaum beriman pun diperintah untuk menceraikan, memutuskan tali kasih sayang pada perempuan-perempuan kafir. Umar bin Khattab menceraikan dua istrinya yang masih musyrik di Mekkah, yakni Quraibah binti Abi Umayyah dan Ummu Kaltsum binti Amr al-Khuza’iyyah. Thalhah bin Ubaidillah cerai pula dengan Arwaa binti Rabi’ah. (Namun Arwaa’ setelah itu, dalam keadaan sudah janda, Arwaa hijrah pula ke Madinah, kemudian Rasulullah menikahkannya dengan Khalid bin Said).

Subhanallah...

Begitulah insan beriman baik muslim maupun muslimah yang sejati. Bagaimana ia menempatkan kecintaan pada tempat yang tepat. Ia mencinta dan membenci karena Allah semata. Ia ikhlas hijrah karena Allah semata, bukan karena keuntungan dan kepentingan pribadi, bukan ingin mencari jodoh, bukan karena agar jumpa si ‘dia’ dsb...

Cinta pada Allah, berubah ke baik arah, hijrah, taubat pun murni karena Allah...

Ini pulalah yang dicontohkan oleh Hindun binti Utbah, 'Akilatul Kibdah'' (pemakan hati), ia yang dulunya memotong telinga dan hidung (menjadikan gelang dan kalung) jenazah pejuang Muslim perang Uhud. Kemudian merobek-robek perut Hamzah paman Nabi, dan memakan hati beliau sebagai bentuk ‘balas dendam’ atas kematian putera dan saudaranya di perang Badar..

Pada saat Mekkah sudah ditaklukkan (Fathu Makkah), Hindun ternyata ikut turut serta berbaiat pada Islam. Dan di kemudian hari beliau menjadi pejuang Islam khususnya di Perang Yarmuk. Beliau menjadi pembangkit semangat, motivator bagi para pejuang Islam...

Subhanallah..

Semoga Allah menjadikan kita menempatkan rasa cinta dan benci pada tempat yang semestinya dan terus perbaiki kondisi kita..
Comments
0 Comments

Tidak ada komentar:

Posting Komentar