Oleh : Islahuddin Panggabean, S.Pd
Sekretaris Ansyitoh Ramadhan PKS Medan Perjuangan
Id secara bahasa berasal dari kata aada –
ya’uudu, yang artinya kembali. Hari raya
disebut ‘id karena hari raya terjadi secara berulang-ulang, dimeriahkan setiap
tahun, pada waktu yang sama. Ibnul A’rabi dalam Lisanul Arab mengatakan, “Hari
raya dinamakan id karena berulang setiap tahun dengan kegembiraan yang baru.”
Ada juga yang mengatakan, kata id merupakan turunan kata Al-Adah yang artinya
kebiasaan. Karena masyarakat telah menjadikan kegiatan ini menyatu dengan
kebiasaan dan adat mereka.
Sedangkan kata fitri berasal dari kata afthara –
yufthiru yang artinya berbuka atau tidak lagi berpuasa. Disebut idul fitri,
karena hari raya ini dimeriahkan bersamaan dengan keadaan kaum muslimin yang
tidak lagi berpuasa ramadhan. Kesalahan yang sudah melekat di masyarakat ialah
menyamakan antara idul fitri dengan idul ‘fitrah’, karena makna dasar idul
Fitri ialah kembali makan, tidak lagi berpuasa. Meskipun idul fitri bisa
dikaitkan dengan ‘fitrah’ dengan menyandarkan pada sabda Nabi, “Sesungguhnya
Allah mewajibkan atas kalian puasa Ramadhan dan aku mensunnahkan qiyam di malam
harinya, maka barangsiapa yang berpuasa dan melakukan qiyam karena mengharap
ridha dari Allah maka keluarlah dosanya (suci) sebagaimana seperti saat ia baru
dilahirkan dari kandungan ibunya”. Artinya, jika be-Ramadhan dengan berkualitas
maka manusia seperti bayi tanpa berdosa.
Sejarah awal dimana Idul Fitri itu disyariatkan
yakni ketika Rasulullah saw melihat penduduk Madinah merayakan Nairuz dan
Mahrajan. Kaum Arab Jahiliyah menggelar kedua hari raya itu dengan menggelar
pesta pora. Selain menari-nari, baik tarian perang maupun ketangkasan, mereka
juga bernyanyi dan menyantap hidangan lezat serta minuman memabukkan. Nairuz
dan Mahrajan merupakan tradisi hari raya yang berasal dari zaman Persia Kuno.
Maka, setelah turunnya kewajiban menunaikan ibadah puasa Ramadhan pada 2
Hijriyah, sesuai dengan hadis yang diriwayatkan Abu Dawud dan An-Nasa’i,
Rasulullah SAW bersabda, ‘’Sesungguhnya Allah mengganti kedua hari raya itu
dengan hari raya yang lebih baik, yakni Idul Fitri dan Idul Adha.”
Adapun hal-hal yang berkaitan dengan idul Fitri dalam
sejarah Ummat Islam adalah Pertama,
Rukyat Hilal. Pada akhir bulan Ramadhan, Rasulullah saw dan para sahabat keluar
untuk melakukan proses rukyat yakni melihat kedatang hilal. Nabi bersabda, "Berpuasalah
jika kalian melihat (hilal) bulan dan berbukalah (hari raya) jika melihatnya
pula.” Kedua, Semarakkan Masjid
dengan Takbiran. Firman Allah SWT, Dan hendaklah kamu mencukupkan bilangannya
dan hendaklah kamu mengagungkan Allah atas petunjuk-Nya yang diberikan
kepadamu, supaya kamu bersyukur” (QS. Al
Baqarah: 185).
Ketiga,
Pergi pada Pagi Hari ke tempat Sholat ‘Id. Dari Nafi’ dari Ibnu Umar bahwasanya
ia ketika pergi pada pagi hari ke tempat shalat pada hari Ied ia bertakbir dan
menyaringkan suaranya. (HR. Muslim). Pada masa Nabi sholat Id dilakukan di
tanah lapang sebagai Syiar atas agama Allah. Bahkan wanita yang haid pun turut
ikut bersama meski tidak sholat. Dari Ummi 'Athiyah, dia berkata: kita
diperintahkan oleh Nabi untuk mengajak para gadis dan perempuan yang sedang haidl
keluar/pergi ke mushalla (tempat Shalat) pada hari raya, agar mereka
menyaksikan hal-hal yang baik dan do’a kaum muslimin. (HR. Bukhari dan Muslim)
Keempat,
Makan Dahulu sebelum Sholat ‘Id. Rasulullah sebelum pergi pada hari raya Idul
Fitri sehingga beliau makan beberapa kurma.(HR. Bukhori). Berbeda dengan Idhul
Adha dianjurkan untuk tidak makan melainkan setelah selesai sholat Idul Adha.
Kelima,
Beda Rute Pergi dan Pulang. Apabila Rasulullah pergi shalat hari Raya beliau
pulang tidak melalui jalan semula (HR. Muslim, Ahmad, at-Tirmidzi). Salah satu
hikmahnya untuk syiar dan juga agar dapat bersilaturahim dengan kaum muslimin
yang lain.
Keenam,
Menerangi Masjid. Pada Masa Nabi, Masjid diterangi oleh sabut pohon Tamar.
Kemudian dilanjutkan oleh Umar bin Khattab yakni menerangi Masjid dengan
pelita-pelita. Selama Ramadhan dan Idul Fitri masjid-masjid terang benderang. Sehingga
Ali bin Abi Thalib pun mendoakan Umar. “Semoga Allah menerangi Umar dalam
kuburnya karena dia telah menerangi masjid-masjid kita.”
Ketujuh,
Berzakat. Sebagaimana dimaklumi bahwa kewajiban zakat harus ditunaikan sebelum
Khutbah Idul Fitri. Zakat fitri merupakan penyempurna dari puasa Ramadhan. Ibnu
Abbas meriwayatkan bahwa Rasulullah saw mewajibkan zakat fitri untuk menjadi
pembersih bagi orang yang berpuasa dari segala perbuatan yang sia-sia dan kotor
serta untuk berbagi dengan kalangan fakir miskin. (HR Abu Daud).
Kedelapan,
Bermalam di Masjid. Banyak sahabat yang suka bermalam di masjid pada malam
takbiran. Abdullah bin Umar, Salman al-Farisi, Abu Hurairah dkk. Bermalam di
masjid kemudian pagi harinya sarapan bareng dan kemudian berangkat ke tempat
sholat bersama-sama diiringi dengan takbir.
Kesembilan,
Saling mendoakan. Yakni ucapan “Taqabbalallahu minna wa minkum” sebagaimana yang
diucapkan Nabi dalam Khutbahnya sehingga diikuti oleh para sahabat saat
berjumpa dengan saudaranya yang lain. Adapun jawaban doa tersebut ialah “Minna
wa minkum taqabbal yaa Karim”. Maupun ucapan “Ja’alalallahu minal ‘aidin wal
faizin wal aminin” “Semoga Allah menjadikan kami termasuk orang yang kembali
dan beruntung dan aman” yang diucapkan oleh para Khulafaurrasyidin dalam khutbah
Id.
Kesepuluh,
Membagi Hadiah, Pemberian dan Sedekah. Para Khalifah Daulah Umayyah dan Daulah
Abbasiyah memanfaatkan momentum Idul Fitri untuk memberikan hadiah, pemberian
dan sedekah. Selain Idul Fitri, mereka juga memberi hadiah pada momen hari
besar lain seperti Idul Adha, Maulid Nabi,
awal Hijriah dsb.
Kesebelas,
Menghias Kota. Pada masa Abbasiyah, seluruh penjuru kota dihiasi lampu hias,
seluruh kota bermandikan cahaya pada malam hari, suara orang bertakbir
bersahutan, sungai Tigris di kota Baghdad dipenuhi perahu-perahu yang dihiasi
dengan indah. Kota Baghdad terlihat gemerlapan menyemarakkan hari raya. Keduabelas,
Karnaval Keliling Kota. Penguasa pada Masa Abbasiyah, ba’da Sholat Id melakukan
karnaval keliling kota menyapa masyarakat.
Ketigabelas.
Bermain dan Bergembira. Pada masa Rasulullah saw, para sahabat juga merayakan
Idul Fitri dengan bermain dan bergembira. Salah satu contohnya ialah permainan
perang-perangan yang dilakukan di Masjid Nabawi yang dilakukan oleh orang-orang
Habasyah. Diriwayatkan bahwa Nabi dan istrinya Aisyah turut serta menonton
pertunjukan tersebut. Begitujuga dengan kegembiraan berupa menabuh gendering,
bernyanyi dan sebagainya.
Keempatbelas,
Istilah Lebaran dan Ketupat. Dalam memaknai Idul Fitri, masyarakat Muslim di
Jawa umumnya Indonesia mempunyai caranya sendiri dengan menyebutnya sebagai
lebaran. Dan dalam lebaran ini ada makna lain, yaitu leburan, luberan dan
laburan. Lebaran mempunyai arti lepas,
bebas, sudah, selesai atau habis. Lebaran dimaknai sebagai selesai atau sudah,
yaitu sudah dan selesai menggembleng diri dan mengendalikan diri melalui puasa.
Leburan berarti luluh, lebur, atau diampuni
(berkaitan dengan salah dan dosa), meluluhkan segala kesalahan dengan saling
memaafkan dan membangun silaturahmi baru yang lebih baik dengan sesama ciptaan.
Luberan berarti luapan (meluap), meluapkan rezeki dengan membagikan zakat bagi warga masyarakat
yang kekurangan. Idul Fitri dirayakan dengan semangat berbagi, sharing dalam
kehidupan. dan laburan berarti melapisi dengan kapur (dinding rumah pada masa
lalu biasanya dilabur, dicat dengan kapur putih) dimaknai sebagai membangun
lembaran baru yang lebih bersih dan lebih 'putih'. Kupat dan Janur
Ada pula hidangan yang tidak pernah absen adalah
ketupat. Konon tradisi ini muncul sejak zaman walisongo dan diperkenalkan
oleh Sunan Kalijogo. Dalam bahasa Jawa
ketupan disebut sebagai kupat. Satu makanan sederhana dari beras yang dimasak
dengan dibungkus daun kelapa muda (janur) yang masih berwarna kuning dengan
cara dijalin atau dianyam.
Selamat Hari Raya Idul Fitri 1437 Hijiriah.
Taqabbalallahu minna wa minkum. Ja’alalallahu minal ‘aidin wal faizin. Mohon
Maaf Lahir dan Bathin. Wallahua’lam.