Transaksi di dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia diartikan persetujuan jual beli dalam perdagangan antara dua pihak. Dalam Fiqih biasanya dikelompokkan dalam bab Mu’ammalah atau jual beli dan berkaitan dengannya seperti sewa-menyewa, pinjam meminjam dan lain-lain.
Secara Umum, seorang mukmin itu yang bermujahadah , beribadah baik dengan fisik , harta maupun jiwa sebenarnya sedang bertransaksi dengan Allah subhanahu wa ta’ala. Allah subhanahu wa ta’ala berfirman,
“Sesungguhnya Allah membeli dari orang-orang mukmin baik diri maupun harta mereka dengan memberikan surga untuk mereka.” (QS At-Taubah : 111)
Transaksi dalam pengertian di atas tentunya menuntut keikhlasan dan istiqomah dalam menjalankan perintah-Nya dengan berlandaskan keimanan dan keyakinan atas janji Allah subhanahu wa ta’ala yang pasti dipenuhi-Nya. Semoga.
Akan tetapi maksud dari transaksional yang tercantum di judul ialah transaksi yang memiliki makna sempit, dimana adanya kecenderungan melaksanakan suatu amanah, tugas ataupun aturan agama dengan mengharapkan imbalan dan bayaran yang bersifat material maupun keuntungan sesaat dan pada akhirnya tidak menampakkan keikhlasan dan keistiqomahan.
Imbalan dalam melaksanakan tugas, amanah ataupun kewajiban bukanlah merupakan hal yang dilarang, namun pada hakikatnya balasan terbesar atau imbalan teragung akan di dapatkan dari Allah subhanahu wa ta’ala di akhirat nanti.
Hal yang harus dihindari ialah kondisi kecenderungan untuk menjalankan tugas, amanah ataupun perintah agama secara transaksional, dengan kata lain termotivasi oleh keuntungan sesaat baik yang bersifat material ataupun non material. Dan bila tujuan tidak tercapai maka komitmennya menurun jika tidak hilang sama sekali.
Dapat dipastikan bahwa menjalankan kewajiban secara transaksional tidak dapat membentuk karakter yang baik, apalagi sampai ke tingkat istiqomah, karena istiqomah ialah kesabaran untuk menerima janji Allah subhanahu wa ta’ala di akhirat kelak.
Allah Subhanahu wa ta’ala berfirman,
“Sesungguhnya orang-orang yang berkata “Tuhan kami adalah Allah” kemudian mereka meneguhkan pendirian mereka (istiqomah), maka malaikat-malaikat akan turun kepada mereka (dengan mengatakan) ”janganlah kamu takut dan janganlah bersedih hati dan bergembiralah kamu dengan (memperoleh) surga yang dijanjikan Allah kepadamu”. (QS Fushshilat :30)
Sebagaimana yang diketahui, Salah satu sifat kaum yang ingkar ialah transaksional dalam beragama. Ketika Nabi Musa ‘alaihissalam memerintahkan untuk berjihad membebaskan Palestina dari penjajahan kaum Jababirah. Mereka dengan serta merta menolak karena menurut mereka tidak ada keuntungan yang didapat
“Mereka berkata:”Hai Musa, kami sekali-kali tidak akan memasukinya selama-lamanya, selagi mereka ada di dalamnya, karena itu pergilah kamu bersama Tuhanmu dan berperanglah kamu berdua, sesungguhnya kami hanya duduk menanti di sini saja” (QS al-Maidah :24)
Ketika nabi Musa ‘alaihissalam sudah wafat , Allah mengutus kepada mereka seorang Nabi lagi untuk melanjutkan perjuangan Nabi Musa ‘alaihissalam. Kepada Nabi tersebut , mereka meminta supaya Allah mengutus komandan perang untuk mengajar berperang dan berjihad. Namun, tatkala permintaan itu dikabulkan, serta merta mereka menolak kedatangan panglima Thalut karena bukan orang kaya. Nabi mereka berkata
“Sesungguhnya Allah telah mengangkat Thalut sebagai rajamu.” Mereka menjawab : “Bagaimana Thalut memerintah kami, padahal kami lebih berhak mengendalikan pemerintah daripadanya, sedang diapun tidak diberi kekayaan yang cukup banyak?” nabi (mereka) berkata : “Sesungguhnya Allah telah memilih rajamu dan menganugerahinya ilmu yang luas dan tubuh yang perkasa.” Allah memberikan pemerintahan kepada siapa yang dikehendaki-Nya dan Allah Maha Luas pemberian-Nya lagi Maha Mengetahui.” (QS al-Baqarah :247)
Mungkin dari sedikit kisah tadi dapat terambil pelajaran akan bahaya nya transaksionalisme sempit….
Pasang surutnya komitmen dan semangat dapat dijadikan indikator adanya ‘paham’ transaksional dalam ‘kehidupan’…….
Semoga Allah mengikhlaskan segala niat dan amal-amal perbuatan. Amin
Salah silaf mohon maaf
Wallahu a’lam
Kitabatu at-tilmidz
Ishlah al-Medaniy
