Oleh : Muhammad Djamir Panggabean SH
Dipublikasikan : MEDAN, JUMAT 29 February 1980
Shalat itu tiang agama, demikianlah salah satu ajaran agama Islam. Dahoeloe shalat itu diartikan orang dengan “sembahyang”. Berhubung pengertian telah semakin tinggi dan senantiasa hendak mencari kepada kemurnian, maka istilah sembahyang itu mulai ditinggalkan orang. Pada hakikatnya arti shalat itu tidak tepat dengan sembahyang. Mereka yang mempunyai ilmu pengetahuan dalam bahasa Melayu, memang kurang setuju kalau arti shalat itu diterjemahkan dengan sembahyang. Kata sembahyang itu berasal dari kata “sembah” dan “Hyang”. Sedang Hyang itu berarti “Dewa”. Jadi sembahyang berarti “menyembah Dewa”. Lho…..jadi jauh terseleweng, bukan??
Agama Islam memerintahkan ummatnya menegakkan “shalat”. Adapun pengertian shalat itu ialah beberapa gerakan dan ucapan keagamaan yang dimulai dengan “takbir” dan disudahi dengan “salam” dengan syarat2 tertentu. Bagaimana tata caranya sudah ditunjukkan oleh Nabi Muhammad saw kepada ummatnya. Sejak dari doeloe sampai hari ini dan seterusnya tidak akan berobah. Memang tidak boleh dirobah, walaupun sampai ke mana nanti ketinggian kecerdasan manusia itu. Tata cara itu adalah mutlak. Dengan tegas dan tuntas, dibatasi Nabi, bahwa terhadap penambahan dan pengurangan dalam tata caranya dinilai sebagai tertolak. Alangkah sia2nya apabila amalan sudah ditolak.
Tata cara shalat itu sudah jelas ditentukan dalam agama Islam. Apabila dia ditegakkan menurut ketentuan itu maka benarlah dia dinamakan “shalat”. Kalau ada seseorang oknum hendak mengadakan suatu tata cara lain, dengan mempergunakan alasan modernisasi atau mengikuti aliran zaman, yang di dalamnya terdapat perobahan2 yang tidak atau belum pernah dilakukan Nabi, maka tanpa segan2 hukum agama akan menolaknya.
Ketika Mustafa Kemal Pasha dahulu hendak melakukan “Turkinisasi” dalam tata cara shalat ini, maka dia mendapat tantangan dari seluruh dunia Islam. Bahkan dalam Negaranya sendiri tantangan itu terasa. Tuhan tidak melarang manusia itu mempergunakan daya pikirnya untuk mencari peningkatan2, tetapi janganlah sampai melewati batas, sehingga se-olah2 hendak menandingi kepandaianNya. Otak manusia itu kadang2 hanya mempunyai daya pada zamannya saja. Biarlah kita katakana sampai hanya 2 a 3 generasi. Bukankah ilmu Tuhan berlaku mutlak sepanjang zaman? Dunia ini bukan seluas daun kelor.
Dimasa jahiliyah manusia2 sudah melakukan sembahyang. Berbagai macam tata cara sembahyang itu. Ada yang mengacungkan tangannya arah matahari, bulan, bintang dan sebagainya. Ada yang mengantarkan panganan kebawah pokok kayu rindang. Katanya penganan itu kelak akan dijemput oleh arwah nenek moyang untuk dimakannya. Kaum zindik di masa sebelum lahirnya Nabi Muhammad saw, melakukan sembahyang itu pada setiap purnama bulan. Menari2 dan bernyanyi2, bahkan ada diantaranya yang lupa pakaian, terlepas tanpa disadari.
Bercampur baur lelaki dan perempuan. Terhadap tata cara ini disebutkan orang sembahyang. Mungkin pada tempat2 lain ada pula tata cara yang lain, yang juga disebut dengan sembahyang. Justru itulah makanya terhadap ibadat yang terdapat dalam hukum Islam itu tidak tepat dipergunakan kata sembahyang. Dan meninggalkan kata sembahyang itu kini sudah dilakukan orang. Hampir di semua tempat orang Islam kini mempergunakan kata shalat. Kalau seseorang Muslim yang masih belum mempergunakan kata shalat itu, maka menjadi kewajibanlah untuk menyampaikannya. Sampai menyampaikan adalah salah satu tugas yang terpuji dalam Islam.
Sebagaimana disebutkan di atas tadi, bahwa yang diartikan dengan shalat itu, ialah beberapa perbuatan dan ucapan keagamaan yang dimulai dengan “takbir” dan diakhiri dengan “salam”, dengan syarat2 tertentu. Definisi ini harus difahami benar, agar jangan terjadi kekeliruan. Entah bagaimana nanti ada sementara orang yang hendak mempergunakan kata shalat baik sengaja atau tidak, agar menjadi penelitian apakah tata cara itu dimulai dengan takbir diakhiri dengan salam atau tidak. Jika tidak, maka bukanlah shalat namanya. Amalan2 yang berupa ibadat, yang terdapat dalam hukum Islam, mempunyai ciri2 khas, mempunyai syarat2 tertentu, yang tidak boleh disebutkan saja menurut kemauan hati, seperti doa, wirid, ziarah, talkin dan sebagainya.
Senada dengan peningkatan cara berpikir manusia dewasa ini maka dijelaskan lagi, bahwa ummat Islam diwajibkan menegakkan shalat. Bukan melakukan sembahyang seperti tata cara upacara yang berbagai ragam itu. Bahkan kalaulah diartikan pula melakukan penyembahan kepada “dewa” dan makhluk lainnya, maka jelaslah perbuatan itu kufur “adanya. Semoga umat Islam jangan terkeliru dalam membedakan kata shalat dan sembahyang ini, mengingat beraneka ragamnya pendapat2 sementara manusia.
Kalau dalam ilmu pengetahuan management unsure kontrole sangat diperlukan, bahkan dinilai sebagai suatu yang akan menentukan berhasilnya rencana atau tidak, maka shalat itu demikian pulalah halnya. Dia bukanlah hanya satu perbuatan yang dilakukan menurut pengertian tersebut di atas tadi saja, tetapi dia harus meninggalkan “bekas”. Bekas yang berkesan pada tindak laku si penegaknya. Dalam sehari semalam dia harus ditegakkan sekurang2nya lima kali. Dari satu waktu ke waktu yang lain, si penegak harus melakukan kontrole, apakah di dalamnya ada terjadi penyelewengan baik berupa ucapan atau tindakan badan. Masing2 melakukan zelfkontrole.
Pada umumnya manusia ini kurang senang bila orang lain menunjukkan kesalahannya. Di muka orang lain, sementara manusia ini senang menegakkan benang basah. Si pencuri pun dapat mempertahankan kebenaran dosanya, menilai dirinya bukan salah. Mengapa si punya harta lalai menjaga? Patut terhadap si pelalai dihukum dengan merugikan hartanya. Justru itulah setiap diri ini baik menilai dirinya sendiri. Dengan menitik beratkan meneliti kesalahannya. Bukankah ahli ilmu usuluddin pernah berkata, bahwa orang yang mengenal dirinya nanti akan kenal pula akan Tuhannya. Sementara manusia itu tidak kenal akan Tuhannya karena dia pun tidak kenal akan dirinya. Lupa bahwa dia seorang manusia. Hampir2 di kiranya sebagai hewan. Kalau hewan suka memakan kawan sejenisnya, maka tabiat itupun ada padanya. Suka menyakiti dan merugikan akan sesama manusia.
Shalat yang ditegakkan dengan mengikuti norma2 tata caranya, diiringi dengan niat yang khalis seraya berkesan dalam tindak laku hidup dan kehidupan ini, maka akan terciptalah masyarakat kasih sayang seperti yang di idam2kan oleh manusia itu. Tetapi kalau kesan shalat itu tidak berbekas, maka kehidupan ini akan dari itu ke itu juga. Shalat itu dilakukan hanya sebagai menunaikan kebiasaan saja. Lama2 dianggap sebagai perbuatan tradisional belaka. Hilang nilai ibadatnya. Mungkin lahir pula kelak seorang oknum yang ketagihan dengan istilah peras-memeras, maka dilakukannya pemerasan terhadap hukum shalat ini, menjadi 3 waktu saja. Kemudian diperas lagi tinggal hanya 1 saja, yaitu cukup dilakukan pada hari Jum’at saja. Lama2 mesjid2 yang banyak ini dijadikan sebagai barang2 museum. Dibuka sekali dalam seminggu. Dianggap sebagai tanda adanya umat Islam di tempat itu. Sebagai tanda Islam merk saja.
Pada setiap rumah orang Islam harus ditegakkan shalat. Suami, isteri, anak, menantu, cucu dan sebagainya. Harus sebagai orang2 penegak shalat. Shalat itu harus dijiwai dan dihayati. Lama2 dia menjadi kebal dalam badan dan dalam hati. Tidak mempan apabila ada angin buruk dating berhembus. Setan iblis itu masuk ke dalam jiwa seseorang adalah karena perintah shalat itu tidak menghayati kehidupannya. Atau mungkin juga bukan sebagai orang penegak shalat. Kalau pun melakukan shalat, hanya dikala teringat.
Untuk menjadi seorang Muslim dan Mukmin yang baik, harus menjadi seorang penegak shalat yang teratur dan mengambil hikmah daripadanya.