One
Day One 'Ain
QS
Fushshilat : 9-
Pada
suatu hari berkumpullah para pemuka Quraisy lalu mengambil keputusan
:
“Cobalah lihat siapa di antara kamu yang lebih tinggi pengetahuannya tentang ilmu sihir, ilmu tenung, dan yang ahli juga dalam hal syair. Maka hendaklah ia pergi mendatangi orang ini, yang telah memecah belah jamaah persatuan kita, mengacaukan urusan kita dan mencela-cela agama kita ! Ajaklah dia bicara dan tanyakan benar-benar kepadanya apa sebenarnya yang dia ingini.”
Lalu mereka mengeluarkan pendapat : “Di antara kita ini tidak ada orang yang lebih pintar dalam segala yang disebutkan itu melainkan ‘Utbah bin Rabi’ah”
Lalu mereka menyampaikan kepada ‘Utbah, “Hai Abu Walid, engkaulah yang melakukan tugas ini!”
“Cobalah lihat siapa di antara kamu yang lebih tinggi pengetahuannya tentang ilmu sihir, ilmu tenung, dan yang ahli juga dalam hal syair. Maka hendaklah ia pergi mendatangi orang ini, yang telah memecah belah jamaah persatuan kita, mengacaukan urusan kita dan mencela-cela agama kita ! Ajaklah dia bicara dan tanyakan benar-benar kepadanya apa sebenarnya yang dia ingini.”
Lalu mereka mengeluarkan pendapat : “Di antara kita ini tidak ada orang yang lebih pintar dalam segala yang disebutkan itu melainkan ‘Utbah bin Rabi’ah”
Lalu mereka menyampaikan kepada ‘Utbah, “Hai Abu Walid, engkaulah yang melakukan tugas ini!”
‘Utbah menyanggupi, lantas segera pergi menemui Nabi. Setelah bertemu ia bertanya, “Hai Muhammad, coba jawab pertanyaanku! Manakah yang baik, engkaukah atau ayahmu Abdullah?”
Nabi
Muhammad shalallahu ‘alaihi wa salam diam.
Lalu
‘Utbah meneruskan pertanyaannya pula : “Hai Muhammad! Mana yang
lebih baik, engkau atau nenekmu Abdul Muthalib?”
‘Utbah
meneruskan kata-katanya pula, “Kalau engkau katakan bahwa ayahmu
dan nenekmu itu yang lebih baik, maka semuanya adalah menyembah
kepada tuhan-tuhan yang engkau hinakan itu. Kalau engkau katakan
bahwa engkau lebih baik, coba terangkan dengan jelas supaya kami
dengar kata-kata engkau. Demi Allah, tidaklah kami melihat seekor
kambing hitam dalam kaum kita yang lebih celaka dan malapetaka kepada
kaum kita melebihi engkau; Engkau pecahkan jamaah kami, engkau
kacaukan urusan kami, engkau cela agama kami dan engkau beri malu
kami dalam kalangan seluruh Arab, sehingga tersiarlah berita di
antara mereka bahwa dalam Quraisy sekarang ada seorang tukang sihir,
dalam Quraisy sekarang ada seorang tukang tenung. Demi Allah tidak
ada yang kami tunggu sekarang kecuali seumpama ratap tangisnya
seorang perempuan bunting, sehingga berkelahi antara kita sama kita,
dan kita punah semua karena pedang kita sendiri.
“Hai
Muhammad, kalau memang engkau jantan, berhentilah dari pekerjaan ini.
Kalau engkau menginginkan harta, akan kami kumpulkan harta itu untuk
engkau sehingga engkau satu-satunya yang paling kaya di antara kami.
Kalau engkau ingin hendak beristri, pilihlah di antara
perempuan-perempuan Quraisy ini mana yang engkau senangi, akan kami
beri engkau istri sepuluh.”
Setelah selesai ‘Utbah bin Raba’ah atau Abul Walid itu berkata, bertanyalah Nabi Muhammad shalallahu ‘alaihi wasalam : “Apakah engkau sudah selesai?”
‘Utbah menjawab: “Sudah!”
Setelah selesai ‘Utbah bin Raba’ah atau Abul Walid itu berkata, bertanyalah Nabi Muhammad shalallahu ‘alaihi wasalam : “Apakah engkau sudah selesai?”
‘Utbah menjawab: “Sudah!”
Lalu
Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa salam membaca surat Fushshilat ini
sejak dari ayat pertama hingga ayat 13..
Setelah
Rasulullah membaca ayat-ayat dari Surah Fushshilat itu bersoraklah
‘Utbah: “Sudah! Sudah! Cukup!”, lalu diapun bertanya: “Lain
dari itu, ada juakah lagi?”
“Tidak ada lagi! (maksudnya tidak ada lagi sambungan sekarang)
“Tidak ada lagi! (maksudnya tidak ada lagi sambungan sekarang)
Lalu kembalilah ‘Utbah kepada Quraisy yang menyuruhnya. Lalu mereka bertanya, “Apa khabarnya?”
‘Utbah menjawab: “Menurut perasaanku segala yang terguris di hati kalian semua telah aku sampaikan kepadanya.”
Mereka
bertanya pula, “Apa jawabnya?”
‘Utbah
menjawab: “Memang dia menjawab. Tetapi sungguh saya tidak mengerti
apa arti jawaban itu. Yang aku ingat hanyalah bahwa dia mengancam,
bahwa kalau kita tidak mau memperhatikan seruannya kita akan ditimpa
oleh malapetaka sebagaimana yang menimpa kaum ‘Aad dan
Tsamud!”
“Heran!” kata mereka selanjutnya “Dia bercakap dalam bahasa Arab tetapi engkau mengatakan tidak faham apa yang dia katakan.”
Utbah menjawab: “Memang! Demi Allah! Aku tidak mengerti apa yang dia baca itu selain dari pekik yang keras akan menimpa, sebagaimana yang diderita Aad dan Tsamud.”
“Heran!” kata mereka selanjutnya “Dia bercakap dalam bahasa Arab tetapi engkau mengatakan tidak faham apa yang dia katakan.”
Utbah menjawab: “Memang! Demi Allah! Aku tidak mengerti apa yang dia baca itu selain dari pekik yang keras akan menimpa, sebagaimana yang diderita Aad dan Tsamud.”
Dalam
riwayat lain, bahwa setelah mendengar ayat-ayat pertama surah
Fushshilat ‘Utbah terdiam tak dapat berbicara dan berpisah dengan
Nabi dengan mengingatkan bagaimanapun mereka masih punya hubungan
keluarga. Setelah itu dia pulang ke rumahnya dan tidak pergi menemui
pemuka-pemuka Quraisy, beberapa lama dia mengurung diri di rumah.
Melihat itu Abu Jahal berkata kepada para pemuka Quraisy , “Hai sekalian Quraisy! Menurut pendapatku si ‘Utbah telah terpengaruh oleh Muhammad dan telah jadi pengikutnya, dan dia telah terpesona oleh hidangan makan Muhammad. Semuanya ini tidak lain karena ‘Utbah merasa ada sesuatu yang diingininya dari Muhammad. Sekarang mari kita temui ‘Utbah!”
Maka pergilah mereka bersama-sama menemui ‘Utbah, lalu Abu Jahal berkata, “Wahai ‘Utbah! Apa yang menahan engkau sehingga tidak menemui kami lagi? Tentu engkau sudah tertarik dengan agama Muhammad dan engkau merasakan enak makanannya. Kalau engkau memerlukan barang sesuatu kepada kamilah minta, jangan kepada Muhammad. Apa yang engkau perlukan kami cukupi.”
Mendengar itu ‘Utbah marah sekali, sampai dia bersumpah bahwa dia tidak akan berbincang selamanya dengan Muhammad. Lalu dia berkata, “Demi Allah! Kalian semua sudah tahu bahwa di kalangan Quraisy sayalah yang terkaya. Soalnya bukan saya memerlukan apa-apa dari Muhammad. Melainkan kalian suruh aku menemui dia dan saya sebut apa yang menjadi perkataan kita selama ini kepada dirinya. Maka dijawabnya ucapan-ucapan itu dengan susunan kata yang demi Allah kata-kata itu bukan Syair, bukan tenung dan bukan sihir, dibacanya ayat-ayat yang isinya mengancam akan menimpa ke sesiapa yang tidak pedulikan seruannya, bahwa mereka akan ditimpa Shaa’iqah, yang membinasakan ‘Aad dan Tsamud. Sesampai di sana, aku tak tahan mendengarnya. Aku minta kepadanya jangan diteruskan lagi. Kalian sendiri tahu bahwa selama ini Muhammad jika berkata tidak pernah berdusta. Saya merasa takut akan menimpa azab Tuhan kepada kalian.”
Dalam
riwayat lain, ucapan ‘Utbah berbeda sedikit dengan adanya
perkataan, “Kalau seluruh Arab dapat mematahkannya, biarlah dia
dipatahkan orang lain dan kalian jangan ikut! Tetapi kalau dia yang
menang menghadapi seluruh Arab, maka ingatlah bahwa kerajaannya
adalah kerajaan kamu juga, kemuliaannya kemuliaanmu juga dan kamu
akan menjadi manusia yang paling bahagia dan beruntung di samping
dia.”
Inti kalimatnya bahwa ‘Utbah menyuruh agar kaum Quraisy membiarkan saja Muhammad , jangan menentangnya)
Mendengar
itu, mereka menjawab dengan kecewa, “Rupanya engkau sudah terkena
sihir pula dengan lidahnya, demi Allah wahai Abu Walid.”
Utbah jawab, “Itu adalah pndapatku, Adapun apa sikap yang akan kamu lakukan pada Muhammad, itu terserah padamu”
Utbah jawab, “Itu adalah pndapatku, Adapun apa sikap yang akan kamu lakukan pada Muhammad, itu terserah padamu”
Demikianlah,
Dari kisah tersebut, Belajar lah kita bahwa pecundang-pecundang
dakwah senantiasa mencari cara , metode ataupun tokoh besar atau
dengan kata lain menggunakan jalan ‘terbaik’ dalam menghadapi
pejuang dakwah . Bertujuan untuk memadamkan api dakwah
Islamiyah.
Mereka merendahkan pejuang dakwah, memfitnah dsn semacamnya, mengatakan mereka merusak ‘ketenangan’ (padahal kejahiliahan) masyarakat. Dan da'i mesti tenang dalam menghadapinya, tetap teguh meski dunia ditawarkan padanya...
Mereka merendahkan pejuang dakwah, memfitnah dsn semacamnya, mengatakan mereka merusak ‘ketenangan’ (padahal kejahiliahan) masyarakat. Dan da'i mesti tenang dalam menghadapinya, tetap teguh meski dunia ditawarkan padanya...
Bahwa
sebenarnya musuh-musuh itu sebenarnya pun tahu akan kebenaran itu
akan menang, mengerti akan konsekuensi bila melawan tegaknya
kebaikan, akan musnah. Namun mereka ternyata lebih menyukai kesesatan
daripada petunjuk sebagaimana kaum Tsamud (dalam ayat 17 surah
Fushshilat). Hingga akhirnya mereka pun binasa karena tidak ingin
“dibina”.
Akhir
kisah ‘Utbah mengenaskan, tewas di perang Badar. Padahal ia sudah
terkena ‘percikan’ Hidayah, namun tidak segera disambut. Dia
masih juga sombong, riya , ujub dan masih terkena penyakit akut hati
lain. Selain itu, dia juga termakan ucapan teman yang jahat (dia
merupakan teman akrab Abu Jahal). Dia ‘terikat’ tidak merdeka.
Padahal petunjuk sudah sangat jelas, namun begitulah jika Allah tidak
berkehendak.
Semoga Allah mengistiqomahkan kita. Aamiin
Wallahua'lam
Akh
Ishlah al-Medaniy