“Sesungguhnya
Allah telah ridha terhadap orang-orang mukmin ketika mereka berjanji
setia kepadamu di bawah pohon, Maka Allah mengetahui apa yang ada dalam
hati mereka lalu menurunkan ketenangan atas mereka dan memberi Balasan
kepada mereka dengan kemenangan yang dekat (waktunya).” (QS Al Fath: 18)
Pada
bulan Dzulqaidah tahun keenam Hijriyyah Nabi Muhammad shalallahu
'alaihi wasallam, beserta para shahabatnya ingin mengunjungi Mekkah
untuk melakukan umroh dan melihat keluarga-keluarga mereka yang telah
lama ditinggalkan. Nabi dan kaum muslimin hendak melakukan ibadah ke
Baitullah dengan damai.
Namun
orang Quraisy, mencoba menghalang-halangi mereka ke Mekkah, menuduh
bahwa kaum muslimin ingin menyerang, namun ada sebagian yang berpendapat
biarkan saja kaum muslimin beribadah. Jadi, mereka “maju mundur”.
Akhirnya kaum Quraisy bersepakat untuk mengirimkan beberapa utusan ke
perkemahan kaum muslimin. untuk menjajagi kekuatan kaum Muslimin dan
dari sisi lain untuk merintangi jangan sampai kaum Muslimin masuk
Makkah.
Budail
bin Warqa' dalam suatu rombongan yang terdiri dari suku Khuza'ah.
Mereka menanyakan kepada kaum Muslimin tentang maksud kedatangan ke
Makkah. Setelah diberitahu bahwa kedatangan kaum Muslimin bukan untuk
berperang, melainkan hendak berziarah dan memuliakan Baitullah, mereka
pun kembali kepada Quraiys.
Budail
dan kawan-kawannya meyakinkan Quraisy, agar membiarkan saja Rasulullah
dan sahabat-sahabatnya mengunjungi Baitullah. Namun mereka malah dituduh
bersekongkol oleh Quraisy. Kemudian Quraisy mengutus orang lain, yaitu
sekutunya dari golongan Ahabisy.
Ahabisy
ialah perkampungan di pegunungan—sebuah kabilah Arab ahli pelempar
panah. Dinamakan demikian, karena warna kulit mereka yang hitam atau
karena sifatnya yang mengelompok, atau juga dihubungkan pada Hubsy, nama
sebuah gunung di hilir Makkah.
Maka
berangkatlah Hulais, pemimpin Ahabisy, menuju perkemahan Muslimin.
Tatkala Rasulullah melihatnya datang, beliau meminta supaya
ternak-ternak kurban itu dilepaskan agar dilihat sendiri oleh Hulais.
Sebagai bukti nyata bahwa orang-orang hendak diperangi oleh Quraisy itu
tidak lain dari orang-orang yang datang hendak berziarah ke Baitullah.
Hulais
dapat menyaksikan sendiri adanya ternak kurban yang tujuh puluh ekor
tersebut, berjalan beriringan dari tengah wadi dengan bulu yang sudah
rontok. Ia merasa sangat terharu melihat pemandangan itu. Dalam hatinya
timbul semangat keagamaannya. Ia yakin bahwa dalam hal ini pihak
Quraisylah yang berlaku kejam terhadap mereka, yang datang bukan untuk
berperang atau mencari permusuhan.
Ia
kembali kepada Quraisy tanpa menemui Rasulullah lagi. Diceritakannya
kepada mereka apa yang telah dilihatnya. Tetapi begitu mendengar
ceritanya itu, Quraisy naik pitam. "Duduklah!" kata mereka kepada
Hulais. "Engkau ini Arab Badui yang tidak tahu apa-apa."
Mendengar
itu Hulais naik pitam. Ia memperingatkan bahwa persekutuannya dengan
Quraisy bukan untuk merintangi orang berziarah ke Rumah Suci. Siapa saja
yang datang berziarah diperbolehkan, dan tidak semestinya dicegah.
Ahabisy pun bersiap-sipa hendak kembali ke Makkah.
Khawatir
dengan kemarahan Ahabisy itu, Quraisy mencoba membujuknya dan
memintanya jangan pergi, sampai mereka dapat memikirkan langkah
selanjutnya. Quraisy kemudian kembali mengutus orang yang dianggap
bijaksana dan meyakinkan; Urwah bin Mas'ud Ats-Tsaqafi.
Urwah
pun berangkat menemui Rasulullah. Ia mengatakan kepada Nabi shalallahu
‘alaihi wa salam bahwa Makkah juga tanah tumpah darahnya yang harus
dipertahankan. Kalau sampai dirusak, yang akan menderita adalah penduduk
yang tinggal di tempat itu, juga kaum Quraisy. Suatu hal yang juga
tidak diinginkan oleh Rasulullah, sekalipun antara dia dengan Quraisy
terjadi perang terbuka.
Urwah
pulang kembali setelah mendapat keterangan Rasulullah, sama seperti
yang diberikan kepada utusan-utusan yang datang sebelumnya. Bahwa
kedatangannya bukan hendak berperang, melainkan hendak mengagungkan
Baitullah, menunaikan kewajiban kepada Allah.
"Saudara-saudara,"
kata Urwah. "Aku sudah pernah bertemu dengan Kisra, dengan kaisar dan
dengan Negus di kerajaan mereka masing-masing. Tetapi belum pernah aku
melihat seorang raja dengan rakyatnya seperti Muhammad dan
sahabat-sahabatnya itu. Begitu ia hendak mengambil wuduh,
sahabat-sahabatnya sudah lebih dulu bergegas mengambilkan air. Begitu
mereka melihat ada rambutnya yang jatuh, cepat-cepat pula mereka
mengambilnya. Mereka takkan menyerahkannya bagaimanapun juga.
Pikirkanlah kembali baik-baik!"
singkat
cerita, kedua belah pihak pun , kaum Muslimin dan kaum Quraisy
memikirkan cara mencapai kesepakatan dengan cara tukar menukar utusan.
Karena niat kaum muslimin tidak lain untuk beribadah. Namun seiring
dengan proses itu, beberapa orang yang tidak
bertanggungjawab dari pihak Quraisy malam-malam keluar dan melempari
kemah Nabi Shalallahu ‘alaihi wa salam dengan batu. Jumlah mereka
hingga 40 atau 50 orang, dengan maksud hendak menyerang sahabat-sahabat
Rasulullah.
Namun
mereka kemudian tertangkap basah, lalu dibawa kepada Nabi. Tahukah apa
yang dilakukan Rasulullah? Beliau memaafkan dan membebaskan mereka,
sebagai pertanda bahwa beliau ingin menempuh jalan damai dan menghormati
bulan suci. Supaya tidak ada pertumpahan darah di Hudaibiyah, yang
juga termasuk daerah suci Makkah.
Melihat hal itu, pihak Quraisy makin malu. Karena tuduhan mereka bahwa kaum muslimin ingin menyerang Mekkah, adalah bohong.
Nabi
mengutus Utsman bin Affan radliyallahu 'anhu lebih dahulu ke Mekah
untuk menyampaikan maksud kedatangan beliau dan kamu muslimin. mereka
menanti-nanti kembalinya Utsman, tetapi tidak juga datang karena Utsman
ditahan oleh kaum musyrikin kemudian tersiar lagi kabar bahwa Utsman
telah dibunuh. Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasalam juga merasa
khawatir jika Quraisy telah berkhianat dan membunuh Utsman di bulan
suci itu. Beliau berkata kepada para sahabat, "Kita tidak akan
meninggalkan tempat ini sebelum kita dapat menghadapi mereka."
Karena
itu Nabi mengajak agar kamu muslimin melakukan bai'ah (janji setia)
kepada beliau. merekapun Mengadakan janji setia kepada Nabi dan mereka
akan memerangi kamu Quraisy bersama Nabi sampai kemenangan tercapai.
Tidak beranjak sampai mati sekalipun. Perjanjian setia ini telah
diridhai Allah sebagaimana tersebut dalam ayat 18 surat al-Fath, karena
itu disebut Bai'atur Ridwan. Bai'atur Ridwan ini menggetarkan kaum
musyrikin, sehingga mereka melepaskan Utsman dan mengirim utusan untuk
Mengadakan Perjanjian damai dengan kaum muslimin. Perjanjian Hudaibiyah.
Kemudian
Rosululloh shalallahu 'alaihi wasallam membaiat Utsman radliyallahu
'anhu dengan menepukkan sebelah tangannya ke tangan yang lain, maka
berkata para sahabat, “Beruntung sekali putranya Affan bisa thawaf di
Makkah sedangkan kami di sini.” Maka bersabda Rosululloh shalallahu
'alaihi wasallam, “Kalau seandainya dia pergi untuk ini dan ini adalah
sunnah niscaya dia tidak akan thawaf sehingga Aku yang memulainya.”
Dan
memang Utsman bin Affan di Mekkah memang tidak melakukan thowaf, beliau
berkata pada kaum Quraisy kala mereka mempersilakan Utsman thawaf, "Aku
tidak akan melakukannya sebelum Rasulullah berthawaf. Kedatangan kami
kemari hanya untuk berziarah ke Baitullah, memuliakannya, dan menunaikan
kewajiban ibadah di tempat ini. Kami telah datang membawa binatang
kurban, setelah disembelih kami pun akan kembali pulang dengan aman."
Subhanallah…
Begitulah
Pada ayat 18 Alloh Ta'ala mengabarkan keridhaan-Nya kepada orang mukmin
yang ikut berbaiat kepada Rosululloh shalallahu 'alaihi wasallam di
bawah pohon(Baiturridhwan) , sehingga dengan baiat itu terbukti di
hadapan Alloh Ta'ala akan kejujuran, keteguhan iman para shohabat, dan
sehingga turunlah dari Allah Ta'ala yakni sakinah dan ketenangan bagi
mereka serta Allah Ta'ala menjanjikan akan datangnya Fathan Qoriiba,
baik perjanjian Hudaibiyah tsb, kemudian kemenangan terus menerus sampai
fathul Khoibar dan fathul Makkah hingga seluruh negeri yang
ditaklukkan. Hidup mulia
“Serta harta rampasan yang banyak yang dapat mereka ambil. dan adalah Allah Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana.” (QS Al Fath : 19)
Subhanallah...
Begitulah
janji Allah tentang pertolongan, ketenangan, kemenangan dan kesenangan
bagi kaum beriman yang jujur dalam keimanan , akhlak yang penuh
kemuliaan , teguh dalam pendirian, dan tidak mundur dalam perjuangan.
Mari kita merenungkan kisah ini dan berdoa semoga
Allah senantiasa memperbaiki keadaan kita, Meneguhkan Iman dan
Istiqomahkan kita di jalan kebaikan. Mencintai Nabi dan para sahabat.
Dan Semoga Allah meridhoi kita.
Aamiin
Laa Haula wa Laa Quwwata Illa Billah
Wallahu’alam