Kamis, 01 Desember 2011

Negeri Islami, Cita-Cita Bersama

Negeri yang Islami, tentunya merupakan satu cita-cita bersama ummat Islam. Berikut ini adalah cuplikan pandangan dari tokoh-tokoh pendiri gerakan Islam mengenai cita-cita bersama, yakni Negeri yang Islami, semoga dapat terambil ibrahnya.

  • Hasan al-Banna. Ia lahir di desa Mahmudiyah, Mesir, 1906. Umur 14 tahun hafal al-Qur’an dan sejak kecil sampai dengan remaja ia dididik dengan pendidikan Islam yang benar, ia wafat syahid diberondong senapan, di mobilnya, oleh tentara Raja Fuad (penguasa Mesir) pada 12 Februari 1949. Ia adalah tokoh pendiri gerakan Ikhwanul Muslimin. Karya-karyanya,meskipun sedikit karena ia wafat ketika muda, menjadi referensi kader-kader ikhwan sampai kini. Ia adalah seorang ulama besar, mujtahid dan mujahid. Ceramah-ceramahnya yang menyentuh dan menarik tiap Selasa di Mesir diikuti ribuan ulama dan kaum awam. Karya-karyanya antara lain Mudzakkirat ad-Da’wah wad Daiyyah, majmuah Rasail, dll.

Mengenai cita-cita negeri yang Islami, Beliau menyatakan, “Sistem bekerja Ikhwanul Muslimin mempunyai tingkatan tertentu dan program yang jelas. Kami tahu apa yang kami inginkan dan cara apa yang harus ditempuh dalam mewujudkan cita-cita itu.

Program-program itu :

  1. Kami mendidik muslim paripurna, baik pemikiran dan aqidahnya, maupun akhlak dan amalnya. Inilah cara pembentukan pribadi Ikhwanul Muslimin
  2. Kami mengharapkan terbinanya sebuah rumah tangga Muslim, baik dalam pemikiran, aqidah, akhlak, perasaan, dan tingkah laku. Oleh karena itu, Ikhwanul Muslimin sangat memperhatikan kaum wanita sebagaimana kaum pria. Ikhwanul Muslimin sangat memperhatikan perkembangan anak-anak sebagaimana terhadap pemuda. Inilah cara pembinaan keluarga Ikhwanul Muslimin.
  3. Kemudian kami mengharapkan terbinanya suatu masyarakat Muslimin dalam segala aspek kehidupan. Maka Ikhwanul Muslimin berusaha agar dakwahnya dapat dilancarkan ke semua rumah dan dapat didengar di semua tempat. Ikhwanul Muslimin berusaha agar gagasannya mudah berkembang sampai ke desa-desa dan kota-kota, dengan mempersiapkan tenaga dan sarananya.
  4. Seterusnya kami bercita-cita membangun suatu pemerintahan Muslmin yang membina masyarakatnya ke Masjid, yang sesuai dengan petunjuk Islam, sebagaimana yang telah dilaksanakan oleh para sahabat Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa salam Abu Bakar ash-Shiddiq dan Umar ibnul Khattab radhiallahu ‘anhu. Kami tidak membenarkan setiap sistem yang tidak berdasarkan prinsip Islam…..

  • Abul A’la al-Maududi. Ia lahir di Hyderabad, India Selatan, 25 September 1903. Wafat pada 22 September 1979. Ia mendapatkan pendidikan Islam sejak kecil di keluarga dan lingkungannya. Syekh Maududi adalah tokoh pendiri Jamaat Islami. Ia pemikir besar Islam dan peletak dasar Negara Islam Pakistan. Ulama-ulama di dunia Islam, bahkan orientalis pun mengakui kecendekiawanannya. Ia dan ulama-ulama Pakistan pernah konflik dengan Fazlurrahman dan menjadikan Fazlurrahman tidak betah tinggal di Pakistan dan akhirnya pindah ke Amerika. Puluhan karyanya menjadi rujukan kaum cendekia Islam. Di antaranya adalah Tafhim al-Qur’an, al-Jihad fil Islam, Islamic Law and Constitution, dll.

Dalam masalah cita-cita Negara yang Islami, Abul A’la al-Maududi menyatakan,

“Negara ini berdasar atas dasar ideology semata-mata dan tidak atas dasar ikatan-ikatan warna, ras, bahasa atau batas-batas geografis. Setiap manusia di mana pun mereka berada di muka bumi ini dapat menerima prinsip=prinsipnya apabila ia ingin dan menggabungkan diri ke dalam sistemnya dan memperoleh hak-haknya sama persis tanpa perbedaan, kefanatikan, dan kekhususan. Dan setiap Negara di seluruh dunia yang ditegakkan atas dasar prinsip-prinsip ini adalah “Negara Islam”, baik ia berdiri di Afrika, di Amerika, di Eropa, atau di Asia: dijalankan dan dilaksanakan urusan-urusannya oleh orang-orang yang berkulit merah, hitam, ataupun kuning. Tidak ada suatu hambatan apa pun yang menghalanginya untuk menjadi sebuah Negara dengan kekhususan ideology ini menjadi sebuah negara sesuai dengan hukum-hukum internasional. Dan apabila di berbagai tempat di atas bumi ini terdapat beberapa Negara seperti ini , maka semuanya adalah “Negara Islam” yang dapat tolong-menolong dan bantu-membantu di antara mereka, sebagaimana layaknya antara sanak-saudara yang saling mengasihi, tidak bertarung atas dasar nasionalisme ataupun ikatan-ikatan kebangsaan yang beraneka ragam. Dan apabila mereka sama-sama mencapai persetujuan, mereka pun dapat membentuk perdamaian internasional dan kesatuan pendapat umum yang bersifat internasional.”

  • Taqiyudin an-Nabhani. Ia lahir di Ijzim, Palestina, pada 1909. Wafat di Beirut Lebanon pada 1977.Beliau lulus dari Universitas al-Azhar Kairo. Ia menulis lebih dari 15 kitab. Ia mendirikan gerakan Islam Hizbut Tahrir, sekaligus mendesain pemikiran kader-kader Hizbut Tahrir dengan kitab-kitab yang ditulisnya. Karya-karya yan ditulisnya di antaranya Nizhamul Islam, Daulah Islamiyah, Syakhshiyah 1-3, Mafahim Siyasi Hizbut Tahrir, Nizhamul Ijtimai fil Islam, Nizhamul iqtishadi fil Islam, Muqaddimah Dustur, puluhan makalah, Tafkir, Sur’atul Badihah dll.

Taqiyudin an-Nabhani menyatakan,”… mengadakan banyak seminar tentang Khalifah, bukanlah jalan yang mengantarkan pada pembentukan Negara Islam. Upaya menyatukan Negara-negara yang memerintah negeri-negeri Islam bukanlah sarana yang bisa membangun Negara Islam. Piagam atau deklarasi yan dikeluarkan berbagai muktamar bangsa-bangsa Islam, bukanlah bentuk perwujudan yang mampu menciptakan kehidupan yang islami. Semua itu dan yang sejenisnya bukanlah jalan (Thariqah). Itu adalah hiburan sesaat yang sedikit menyegarkan jiw kaum muslim Muslimin. Kemudian semangat muktamar itu lambat laun menjadi padam. Setelah itu duduk-duduk santai tanpa melakukan aktivitas yang nyata. Lebih dari itu semuanya adalah jalan yang bertentangan dengan thariqah Islam. Metode satu-satunya untuk mendirikan Negara Islam hanya dengan mengemban dakwah Islam dan berbuat nyata dalam mewujudkan kehidupan yang Islami. Hal ini menuntut satu kesatuan yang utuh karena umat Islam adalah satu. Mereka adalah kumpulan manusia yang dikumpulkan oleh aqidah yang satu. Dari situ sistem Negara Islam memancar.”

  • Mohammad Natsir. Lahir di Minangkabau, Sumatera Barat, 17 Juli 1908. Wafat di Jakarta 6 Februari 1993. Pendidikan Islam sejak kecil dengan orang tua dan lingkungannya. Pendidikan formal di HIS Solok, MULO (1923-1927), AMS di Bandung (1930). Ketika remaja ia dididik dengan ulama pergerakan A. Hassan. Ia pernah beberapa kali menjadi Menteri Penerangan Kabinet da pernah menjadi Perdana Menteri “Kabinet Natsir”. Setelah Masyumi dibubarkan , Buya Natsir dengan kawan-kawannya –tokoh Masyumi- mendirikan Dewan Dakwah Islamiyah Indonesia pada 1967. Ketika berkiprah di Dewan Dakwah , Natsir melakukan pendidikan dai secara nasional dan sistematis, mendirikan perguruan tinggi-perguruan tinggi Islam di luar IAIN, memelopori pendirian-pendirian pesantren di sekitar kampus-kampus umum, mengirimkan dai-dai untuk bersekolah ke Timur Tengah dll.

Ketika bergerak di Masyumi, Natsir dan kawan-kawan konsisten dan terus menerus memperjuangkan tegaknya syariat Islam di Indonesia. Natsir tidak segan-segan mengusulkan Islam sebagai dasar Negara, di antaranya dengan Piagam Jakarta. Argument-argument Natsir dan tokoh-tokoh Masyumi sangat kuat.

Dalam pidatonya di Dewan Konstituante 12 November 1957, Natsir mengatakan bahwa paham sekularisme mengandung bahaya-bahaya. Sekularisme adalah suatu pandnagn hidup, opini-opini, tujuan-tujuan, dan sifat-sifat yang dibatasi oleh batas-batas keberadaan duniawi. Kata Natsir,”Meskipun mungkin pada suatu saat kaum sekularis itu mngakui keberadaan Tuhan, di dalam kehidupan kesehariaannya sebagai pribadi-pribadi sekularis, tidak mengakui kebutuhan terhadap suatu hubungan itu dalam kehidupan sehari-hari dinyatakan dalam sikap-sikap, tingkah laku dan tindakan-tindakan atau dalam doa dan ibadah.”

“Juga kaum sekularis memandang konsep-konsep mengenai Tuhan dan agama hanya sebagai hasil ciptaan manusia yang ditentukan oleh kondisi-kondisi sosial, bukan ditentukan oleh kebenaran wahyu. Bagi kaum sekularis, doktrin agama dan Tuhan relative dan tergantung pada penemuan-penemuan umat manusia. Dan tolok ukur kebenaran dan kebahagiaan atau ukuran keberhasilan manusia semata-mata ditentukan oleh materi (benda). Di Negara sekuler , masalah-masalah ekonomi, hukum, pendidikan, sosial, dan lain-lainnya semata-mata ditentukan oleh kepentingan material, bukan nilai-nilai spiritual.”

Natsir juga tak segan-segan berterus terang tentang perlunya Islam dan Negara bersatu,”Kalau kita terangkan bahwa agama dan Negara harus bersatu, maka terbayang sudah di mata seorang bahlul (bloody fool) duduk di atas singgasana, dikelilingi oleh haremnya menonton dayang-dayang. Terbayang olehnya yang duduk mengepalai kementrian kerajaan, beberapa orang tua Bangka memegang hoga. Sebab, memang beginilah gambaran pemerintah Islam yang digambarkan dalam kitab-kitab Eropa yang mereka baca dan diterangkan oleh guru-guru bangsa Barat selama ini. Sebab umumnya (kecuali amat sedikit) bagi orang Eropa : Chalifah = Harem, Islam =Poligami).”

Sedangkan untuk title Khalifah, Natsir berbeda dengan an-Nabhani. Menurut Natsir ,”Titel Khalifah bukan menjadi syarat mutlak dalam pemerintahan Islam, bukan condition sine qua non. Cuma saja yang menjadi kepala Negara yang diberi kekuasaan itu sanggup bertindak bijaksana dan peraturan-peraturan Islam berjalan dengan semestinya dalam susunan kenegaraan baik dalam kaidah maupun dalam praktik. Yang menjadi syarat untuk menjadi Kepala Negara Islam adalah agamanya, sifat dan tabiatnya, akhlak dan kecakapannya untuk memegang kekuasaan yang diberikan kepadanya, jadi bukanlah bangsa dan keturunannya ataupun samata-mata intelektualnya saja.”

Ia juga menegaskan bahwa terhadap penguasa Negara terpilih, umat mempunyai kewajiban mengikutinya selama ia benar dalam menjalankan kekuasaannya. Bila menyimpang, umat berhak melakukan koreksi atau mengingkari penguasa Negara. Dalam masalah ini Islam menekankan kewajiban musyawarah tentang hak dan kewajiban antara penguasa dan yang dikuasai.”

Negara Islami tentunya menjadi cita-cita bersama dan Allah menegaskan

Sesungguhnya Allah pasti menolong orang yang menolong (agama)-Nya. Sesungguhnya Allah benar-benar Maha Kuat lagi Maha Perkasa. (yaitu) orang-orang yang jika Kami teguhkan kedudukan mereka di muka bumi niscaya mereka mendirikan sembahyang, menunaikan zakat, menyuruh berbuat ma'ruf dan mencegah dari perbuatan yang mungkar; dan kepada Allah-lah kembali segala urusan. (al-Hajj : 40-41)

Jadi pemegang kuasa dalam Islam haruslah orang yang bertakwa yang cirri-cirinya antara lain mendirikan sholat, menunaikan zakat dan melaksanakan amar ma’ruf nahi mungkar. Nah, ciri terakhir inilah yang sulit ditemukan. Semoga Ciri yang terakhir ini dapat dijalankan dan dihidupkan kembali hingga terciptalah kondisi dunia yang islami yang ditolong oleh Allah subhanahu wa ta’ala. Amin.

Semoga

Silaf salah mohon maaf dan diluruskan

Kitabatu at-tilmidz

Ishlah al-Medaniy

Comments
0 Comments

Tidak ada komentar:

Posting Komentar