Rabu, 30 November 2011

IKATAN HATI

Oleh : Muhammad Djamir Panggabean SH

Dipublikasikan : MEDAN, JUMAT 4 Nopember 1977

DALAM SEJARAH PERNAH TERJADI SATU PEPERANGAN yang diberi nama “waqi’ah dzatis salasill”, artinya peperangan memakai rantai. Peperangan antara tentera Muslimin dengan tentera Parsi. Fihak Muslimin pada waktu itu sedang dalam masa majunya. Mendengar nama kaum Muslimin saja, para tentera Parsi menjadi takut dan cemas. Dengan berbisik-bisik, dari seorang ke seorang lainnya, ada di antaranya yang mencoba melarikan diri. Takut menjadi korban percuma menghadapi tentera Islam itu. Desas desus ini sampai ke telinga panglima tentera Parsi yang masih menyembah api itu. Marahnya terbit dan mengeluarkan ancaman berat, siapa yang mencoba melarikan diri bila komando telah dikeluarkan.

Ketika hari pemberangkatan ke Medan perang telah tiba maka Panglima Parsi mengeluarkan perintah, mengikat kaki para tenteranya dengan rantai besi. Maksud mengikat kaki dengan rantai itu agar jangan ada di antaranya yang akan melarikan diri. Dengan cara itu berangkatlah pasukan tersebut ke medan perang. Tetapi apa lacur ? Tentera Parsi yang dirantai itu akhirnya kalah. Bahkan lebih mudah bagi tentera Islam mengalahkannya.

Di mana letak kesalahan Panglima Parsi itu? Persatuan dan keberanian berjuang bukanlah karena ikatan rantai. Tetapi haruslah dengan IKATAN HATI. Panglima itu hanya mungkin bisa mengikat jasmani bawahannya dengan kekerasan. Tetapi tidak sanggup mengikat hati para perajuritnya.

Bangsa Indonesia pun terkenal sebagai salah satu bangsa yang sangat menenggang kepada hati. Pun tidak suka melihat sesuatu yang menyinggung hati. Kalau hati sudah tersinggung, sangat sulit mengajaknya kepada sesuatu rencana yang baik. Singgungan hati harus di obati dengan hati pula. Tetapi apabila hatinya telah dapat digenggam, percayalah, apapun rencana yang dibuat segalanya akan mudah dijalankan.

Penjajahan asing yang pernah bertempat tinggal di tanah air dahulu itu sering melakukan perbuatan yang menyinggung hati penduduk. Selama 3 abad mereka di sini, seharusnya sudah faham akan watak bangsa kita. Tetapi faktor ini tidak menjadi perhatiannya. Mereka berlagak sombong dengan memperagakan kekuatan benda saja. Pada hal benda2 itu dipegang oleh oknum2 yang mentalnya sudah rusak. Mereka lupa bahwa antara benda dan mental sipemegangnya harus ada keseimbangan. Contohnya sebagai pasukan Parsi ketika berhadapan dengan tentera Islam di atas tadi.

Diakui bahwa tentera Parsi mempunyai senjata yang lengkap. Berbadan tegap dan gesit. Tetapi mentalnya sudah jatuh merosot. Apalagi dengan tindakan yang dilakukan oleh Panglimanya membuat hati makin tersinggung. Perasaan takut di tambah pula dengan penyinggungan hati.

Saidina Ali Bin Abi Thalib pernah berkata : “Sesungguhnya hati itu apabila dipaksa dengan kekerasan, maka dia nanti akan menjadi buta.” Justru itu, tidak asal sembarangan cara saja untuk memelihara hati itu. Dia adalah sesuatu yang halus dan mendekatinyapun harus dengan kehalusan pula.

Iman seseorang itu hanya dapat ditumbuhkan dalam suasana bebas. Sunyi dari tekanan, intimidasi dan paksaan. Karena memang demikianlah pembawaan fitrah manusia itu. Paksaan, ancaman, dan bujukan palsu guna menegakkan sesuatu tujuan, mungkin bisa berhasil dalam bentuknya, tetapi akibatnya membuat orang2 diajak bermain sandiwara. Membuat pengakuan palsu. Lain di mulut, lain di hati. Bersedia membeo terhadap orang yang memaksa guna keselamatan dirinya. Seperti kata orang pasaran: menjalankan politik jaga diri.

Umat beragama mengingini amal yang ditegakkan dengan bersatunya anggota luar dengan hati yang di dalam. Jangan terdapat perbedaan ucapan lidah dengan hati. Jangan terdapat seperti yang disinyalir Surat Al-Hasyar ayat 14 yang berbunyi : “Anda sangka mereka itu bersatu tetapi sesungguhnya hati mereka berpecah belah.”

Sinyalemen itu menunjukkan akan berpecah-belahnya hati orang2 kafir walaupun dalam bentuk luarnya Nampak bersatu. Perpecahan kaum kafir ini sebagai akibat landasan tempat berpijak yang tidak satu adanya. Yang sana mau ke sana dan sini mau ke sini.

Orang yang mempertentangkan pengakuan, lidah dengan hati oleh hukum Islam menilainya sebagai MUNAFIK. Tempat orang yang dicap munafik itu adalah api neraka, sedang dalam kehidupan di dunia ini tidak dipergauli orang2 yang beragama.

Pernah ditanya orang kepada Rasulullah, siapakah orang yang paling terbaik itu, maka jawab beliau : “Semua orang mukmin yang bersih hatinya.” Maka ditanya lagi, siapakah orang yang bersih hatinya itu? Dijawab lagi : “Ialah orang2 yang takwa, suci, tidak ada kepalsuan padanya, tidak ada kezaliman, dendam, khianat dan dengki.”

Adanya sifat2 yang terpuji inilah alat perekat yang paling utuh mempersatukan hati itu. Ada sementara orang yang berfaham bahwa harta dunia ini bisa saja mempersatukan hati yang berjauhan. Kemungkinan itu bisa saja. Tetapi jangka waktunya, daya tahannya hanya sekejap. Selama harta itu masih mempunyai daya-pengaruh. Apabila pengaruhnya habis maka persatuan itu akan pecah kembali. Nabi saw sering memberikan fatwa agar persatuan dan kesatuan itu jangan ditegakkan atas kilatan harta dunia. Tetapi tegakkanlah dia di atas akhlak yang terpuji.

Dalam perang kemerdekaan, bangsa Indonesia telah berhasil mempersatukan tekad ucapan lidah dan niat hati. Lidah berikrar mengerahkan segala daya mempertahankan Proklamasi Kemerdekaan. Niat hati pun serempak bertekad untuk mengorbankan apa saja yang ada demi Kemerdekaan itu. Masing2 diri berikrar dan berbuat demikian. Bersatu teguh bercerai rubuh.

Kompaknya ucapan lidah dan niat hati maka pertolongan Allah turut merestuinya. Sesuatu rencana yang baik, ikhlas dan tidak melanggar syariat, sudah di tentukan Allah dengan bantuannya yang tidak dapat dilihat oleh mata manusia. Kalaupun ada pada masa itu beberapa gelintir manusia yang hendak mencari kesempatan dalam kesempitan, maka dalam waktu yang sangat singkat, terbukalah kedoknya, sehingga dia terpaksa tersingkir sendiri.

Semangat perjuangan yang suci tidak dibenarkan dikotori oleh hati dan tangan yang kotor.

Saidina Ali Bin Abi Thalib pernah menggambarkan berbagai macam hal mengenai hati. Salah satu dari padanya ialah bahwa Allah Taala mempunyai wadah di bumi yaitu berbagai2 hati. Maka wadah yang paling disukai Allah adalah yang paling lunak, paling bersih dan paling kuat.

Ketika ditanya orang apa2kah itu maka jawab beliau : “Yang paling kuat dalam agama, paling bersih dalam keyakinan dan paling lunak kepada saudara2nya, sesame kaum Muslimin”. Sebagai dalil dibacakan beliaulah Surat Al-Fath ayat 29 yang berbunyi : “Adapun orang2 Mukmin itu paling keras menentang faham kekafiran tetapi antara sesame kaum Muslimin sengatlah mereka berkasih sayang.”

Jelas bahwa untuk membina persatuan dan kesatuan yang kompak tidak lain dari menghidupkan rasa kasih sayang antara sesamanya. Masing2 saling mempunyai pengertian yang baik. Justru itu harus selalu bersikap secara terbuka. Tidak berlindung di balik lalang sehelai, sehingga terjadi penafsiran2 yang salah.

Dalam peribahasa2 Indonesia banyak terdapat fatma yang mengandung pengertian betapa musti berhati2nya kita dalam menenggang hati manusia itu. Apalagi kalau kita sedang mengajak umat kepada sesuatu yang bermanfaat. Masing2 hati sangat diharapkan memberikan keikhlasan padanya.

Kekompakan yang sebenarnya adalah terbentuknya persatuan dan kesatuan yang dijiwai oleh hati ikhlas, takwa dan bersih padanya.

Comments
0 Comments

Tidak ada komentar:

Posting Komentar