“Dan Aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan supaya mereka mengabdi kepada-Ku.” (az-Zariyat : 56)
Saat manusia mengetahui tujuan diciptakannya manusia yakni untuk beribadah kepada-Nya, maka seyogyanya manusia itu menjadikan seluruh hidupnya dalam rangka lillahi ta’ala.
Hal ini tidak berarti harus mengisi seluruh waktu dalam hidupnya dengan sholat atau berzikir lafzhi tanpa berhenti. Bukan itu!
Adapun maksudnya adalah menjalankan seluruh aspek kehidupan sesuai dengan tuntutan syariat yang dibebankan kepadanya. Tuntutan itu dijalankan hanya sebagai sebuah pengabdian secara ikhlas kepada-Nya berdasarkan ridha dan kehendak-Nya. Oleh sebab itu, ia sholat hanya karena Allah, ia puasa hanya karena Allah, ia menuntut ilmu hanya karena Allah dan ia mencari nafkah untuk keluarganya hanya karena mengikuti perintah Allah dan seterusnya. Semua ini diniatkannya untuk beribadah kepada Tuhan yang menciptakannya dan menciptakan segala makhluk.
Dengan sikap seperti ini maka ia akan selalu bisa memperbaiki niat dan mengontrol perilakunya agar sesuai dengan kehendak Allah dan menjadi ibadah kepada-Nya.
Ibadah adalah suatu istilah yang mencakup segala sesuatu yang dicintai Allah dan diridhai-Nya, baik berupa perkataan maupun perbuatan, yang tersembunyi (batin) maupun yang nampak (lahir). Maka shalat, zakat, puasa, haji, berbicara jujur, menunaikan amanah, berbakti kepada kedua orang tua, menyambung tali kekerabatan, menepati janji, memerintahkan yang ma’ruf, melarang dari yang munkar, berjihad melawan orang-orang kafir dan munafiq, berbuat baik kepada tetangga, anak yatim, orang miskin, ibnu sabil (orang yang kehabisan bekal di perjalanan), berbuat baik kepada orang atau hewan yang dijadikan sebagai pekerja, memanjatkan do’a, berdzikir, membaca Al Qur’an dan lain sebagainya adalah termasuk bagian dari ibadah. Begitu pula rasa cinta kepada Allah dan Rasul-Nya, takut kepada Allah, inabah (kembali taat) kepada-Nya, memurnikan agama (amal ketaatan) hanya untuk-Nya, bersabar terhadap keputusan (takdir)-Nya, bersyukur atas nikmat-nikmat-Nya, merasa ridha terhadap qadha/takdir-Nya, tawakal kepada-Nya, mengharapkan rahmat (kasih sayang)-Nya, merasa takut dari siksa-Nya dan lain sebagainya itu semua juga termasuk bagian dari ibadah kepada Allah.” (Ibn Taimyah)
Ibn Qoyyim mengatakan bahwa dalam hal menjalankan ibadah kepada Allah sebagai tujuan hidup manusia, maka ia harus memperhatikan dua hal. Pertama, hatinya harus ikhlas hanya kepada Allah dan kedua harus sesuai dengan petunjuk yang diajarkan oleh Nabi shalallahu ‘alaihi wa salam.
Ikhlas menurut terminologis telah dirumuskan ulama.
Abu Qasim al-Quryairi mengatakan Ikhlas adalah(suatu perbuatan) semata-mata hanya untuk Allah di dalam beribadah kepadanya disertai niat. Ia melakukan dengan ketaatannya tersebut karena ingin mendekatkan diri kepada Allah Ta’ala bukan karena lain-Nya, seperti perilaku yang dibuat-buat untuk tujuan makhluk atau berusaha mendapat penghargaan, kasih sayang, pujian dari manusia, atau hal-hal lain selain dalam rangka mendekatkan diri kepada Allah ta’ala.”
Huzaifah al-Mar’asyi mengemukakan makna ikhlas : Ikhlas adalah perbuatan hamba itu sama antara zahir maupun batinnya.
Zu-an-Nun al-Mishri menjelaskan ada tiga tanda-tanda ikhlas yaitu :
Tanda ikhlas ada tiga : Pujian dan cercaan dari manusia sama saja baginya, Melupakan amal yang telah dilakukannya, hanya mengharap ganjarannya di akhirat.
Al Fudhail bin ‘Iyadh mengatakan, “Meninggalkan amalan karena manusia adalah riya’. Beramal karena manusia termasuk kesyirikan. Sedangkan ikhlas adalah engkau terselamatkan dari dua hal tadi.”
Mochammad Bugi mengatakan ada 3 ciri ikhlas
- Senantiasa beramal dan bersungguh-sungguh dalam beramal, baik dalam keadaan sendiri atau bersama orang banyak, baik ada pujian ataupun celaan.
- Terjaga dari segala yang diharamkan Allah, baik dalam keadaan bersama manusia atau jauh dari mereka
- Dalam dakwah, akan terlihat bahwa seorang dai yang ikhlas akan merasa senang jika kebaikan terealisasi di tangan saudaranya sesama dai, sebagaimana dia juga merasa senang jika terlaksana oleh tangannya
Ustadz Lathif Khan mengatakan
“Ikhlas itu bukan menampakkan atau menyembunyikan amalmu tetapi bagaimana komitmenmu kepada Rabbmu”
Berdasarkan beberapa pendapat di atas, dapat ditemukan bahwa niat ikhlas adalah pekerjaan hati. Ia harus ada di dalam setiap ibadah kepada Allah. Siapapun tidak mengetahui hati seseorang kecuali manusia itu sendiri dengan Allah.
Oleh sebab itu, manusia harus senantiasa jujur kepada diri dan Tuhannya.
Katakanlah: "Jika kamu menyembunyikan apa yang ada dalam hatimu atau kamu melahirkannya, pasti Allah mengetahui." Allah mengetahui apa-apa yang ada di langit dan apa-apa yang ada di bumi. Dan Allah Maha Kuasa atas segala sesuatu (Ali Imran 29)
Sebagus apapun amal manusia bila tidak didasari keikhlasan maka akan sia-sia. Sebab, inti suatu amal ada di dalam hati, sementara anggota tubuh adalah pengejewantahan dari hati.
Barangsiapa yang menghendaki kehidupan dunia dan perhiasannya, niscaya Kami berikan kepada mereka balasan pekerjaan mereka di dunia dengan sempurna dan mereka di dunia itu tidak akan dirugikan. Itulah orang-orang yang tidak memperoleh di akhirat, kecuali neraka dan lenyaplah di akhirat itu apa yang telah mereka usahakan di dunia dan sia-sialah apa yang telah mereka kerjakan (Hud 15-16)
Barang siapa yang menghendaki keuntungan di akhirat akan Kami tambah keuntungan itu baginya dan barang siapa yang menghendaki keuntungan di dunia Kami berikan kepadanya sebagian dari keuntungan dunia dan tidak ada baginya suatu bahagianpun di akhirat (Asy-yuro : 20)
Sebagaimana yang telah disebutkan, selain harus ikhlas, mesti mengikuti tuntutan yang diajarkan Nabi shalallahu ‘alaihi wa salam. Jika ibadah formal tidak mengikuti tuntutan tersebut maka akan sia-sia bahkan bagi orang-orang yang membuat-buat ibadah tanpa dalil akan mendapat ancaman api neraka.
Semoga kita menjadi manusia yang amalnya ahsan.
Semoga Allah menjadikan amal kita semata-mata ikhlas lillahi ta’ala.
Amin
Ikhlas
Maaf atas kesalahan
Kitabatu at-Tilmidz
Ishlah al-Medaniy