Oleh :
Islahuddin
Panggabean
@almuyassargroup
Tak ada gading yang tak retak, demikianlah
bunyi pribahasa. Bahwa Gading itu dinamakan gading, justru karena retaknya. Peribahasa yang memuat makna kiasan terhadap manusia.
Pada umumnya manusia itu pasti memiliki kekurangan. Dan karena adanya sifat
kekurangan itulah makanya dia dinamakan manusia. Dalam bahasa Arab dinamakan
“insan” yang memiliki sifat “nisyan” atau pelupa. Berangkat dari sifat pelupa
inilah maka Islam mengajarkan selalu nasehat-menasehati, ingat-mengingatkan. Islam melarang
pemeluknya untuk berlaku sombong atau belagak pandai segalanya.
Walaupun demikian, kenyataan sebagian
manusia kurang rela jika kepadanya disampaikan nasehat atau kekurangan yang ada
pada dirinya. Apalagi bila kekurangan yang ada padanya itu berujung dosa.
Kesalahan yang bermuara ke dalam api neraka. Anehnya, yang sepatutnya ia
berterima kasih, justru si pemberi nasehat dinilai sebagai ‘lawan’. Manusia
justru kerap mengharapkan pembiaran, pembolehan bahkan pujian terhadap
kekurangan yang bisa berakibat dosa itu. Mungkin setelah dia hancur lumat baru
ia tersadar.
Sebuah hadist yang diriwayatkan Dailamy
berasal dari Anas, bahwa Nabi Muhammad saw. Pernah berkata, “Berbahagialah
seseorang yang mau meneliti cacat dirinya sendiri daripada memperkatakan cacat
orang lain.” Cobalah renungkan bunyi hadist dan resapi ke dalam hati dan
jalarkan hingga tulang sumsum. Sungguh, jika ajaran ini menjadi sesuatu yang
diwajibkan untuk diri setiap orang, maka alangkah indah dunia. Dunia akan diselimuti kedamaian. Tidak akan ada lagi
para pelakon sandiwara yang akan mengeluh di atas pentas dunia.
Sebenarnya , cacat atau kekurangan itu awal mula diketahui oleh si
empunya diri sendiri. Namun, diri itu kerap menganggapnya sebagai angin lalu
tidak dicermati secara mendalam. Banyak kekurangan yang terdapat dalam setiap
pribadi, baik itu kekurangan ilmu, pengetahuan, dan sebagainya. Tetapi yang
paling utama dijadikan sasarana penelitian ialah bidang akhlak. Sebab inilah
barometer yang akan menentukan nilai manusia itu. Banyak orang yang berpredikat
sebagai sarjana, pejabat tinggi negara, bahkan ustadz tetapi karena kebejatan moral,
nilainya menjadi rendah. Dan pada hakikatnya fungsi ilmu pengetahuan itu adalah
membedakan baik dan buruk. Bukan hanya sekadar diketahui tetapi direalisir
sebagai perangai dalam kehidupan.
Imam al-Ghazali mengajarkan 4 cara untuk mengenal cacat diri, yaitu. Pertama,
suka mendengarkan ajaran Guru (ulama). Duduk menghadap guru yang mendengar
ajaran-ajaran agama. Sehingga dia akan mengetahui dan dapat membedakan antara
yang baik dan buruk, pahala dan dosa. Jika
guru tersebut membahas berketepatan dengan kesalahan-kesalahan, tentulah
menjadi moment melakukan perubahan. Jangan diteruskan perbuatan masa silam
serta jangan ukur benar salah suatu perbuatan hanya pada selera. Guru yang
dimaksud pun harus guru yang benar, kapasitas keilmuannya shohih dan berdasar
al-Quran dan Sunnah.
Kedua, mencari kawan yang mau
mengawasi dirinya. Unsur kedua ini agak susah mencari dan juga
mempraktekkannya. Jarang terjumpai kawan yang mau menunjukkan kekurangan awak. Terkadang,
bukan karena kawan itu tidak mau, tetapi takut menyinggung perasaan yang
membawa keretakan. Karena itu perlulah dalam pertemanan dibangun sikap
nasehat-menasehati secara jujur dilandasi dengan keikhlasan.
Khalifah Umar bin Khattab dalam pemerintahannya mengangkat Salman
sebagai petugas khusus mengamati tindakannya dalam memegang amanah. Suatu ketika beliau bertanya pada Salman
tentang berita-berita dirinya yang kurang disukai masyarakat. Selain pada
Salman, Umar juga sering berkonsultasi pada Hudzaifah apakah ada sifat-sifat
munafik yang terdapat pada diri Umar. Subhanallah.
Seorang Hukama, Dau At-Thay terpaksa memisahkan diri dari orang banyak
karena sering diberikan pujian seraya berkata, “Apa yang harus kuperbuat
terhadap orang-orang yang menyembunyikan cacat-cacat diriku di hadapanku?”
Ketiga, mengambil faedah
dari mulut musuh. Umumnya, seseorang yang merupakan musuh tentu membeberkan
kekurangan diri kita. Ada kalanya kekurangan diri yang selama ini tertutup
terungkap. Perbuatan musuh yang mengungkap kesalahan dan kekurangan bahkan bisa
jadi lebih bermanfaat bagi diri kita bila mau memperbaikinya. Ketimbang
perbuatan palsu orang yang mengaku ‘kawan’ tetapi perilakunya hanya menjilat.
Keempat, bergaul dengan orang banyak. Manusia
adalah makhluk sosial. Makhluk yang hidupnya harus bergaul, haru bersentuhan
dengan orang lain. Dari hubungan-hubungan itu
tentu banyak kesan yang timbul. Ada yang baik, ada pula yang buruk tentang
kita. sebagai ummat beragama tentulah apa yang baik itu ialah yang mengandung
unsur agama atau sesuai keridhaan Allah. Kesan-kesan yang dinilai orang banyak
terhadap agama atau akhlak kita hendaklah menjadi cerminan untuk berperilaku ke
depan.
Demikianlah 4 cara yang diajarkan oleh Imam Ghazali kepada manusia untuk
mengetahui cacat-cacat dirinya. Seteleh mengetahui tentu timbul keinginan untuk
memperbaiki atau menyempurnakan. Ditambah mana yang kurang. Dikurangi mana yang
berlebih. Semoga.