Sabtu, 01 November 2014

Meneliti Diri Sendiri

Oleh :
Islahuddin Panggabean
@almuyassargroup

Tak ada gading yang tak retak, demikianlah bunyi pribahasa. Bahwa Gading itu dinamakan gading, justru karena retaknya. Peribahasa yang memuat makna kiasan terhadap manusia. Pada umumnya manusia itu pasti memiliki kekurangan. Dan karena adanya sifat kekurangan itulah makanya dia dinamakan manusia. Dalam bahasa Arab dinamakan “insan” yang memiliki sifat “nisyan” atau pelupa. Berangkat dari sifat pelupa inilah maka Islam mengajarkan selalu nasehat-menasehati, ingat-mengingatkan. Islam melarang pemeluknya untuk berlaku sombong atau belagak pandai segalanya.

Walaupun demikian, kenyataan sebagian manusia kurang rela jika kepadanya disampaikan nasehat atau kekurangan yang ada pada dirinya. Apalagi bila kekurangan yang ada padanya itu berujung dosa. Kesalahan yang bermuara ke dalam api neraka. Anehnya, yang sepatutnya ia berterima kasih, justru si pemberi nasehat dinilai sebagai ‘lawan’. Manusia justru kerap mengharapkan pembiaran, pembolehan bahkan pujian terhadap kekurangan yang bisa berakibat dosa itu. Mungkin setelah dia hancur lumat baru ia tersadar.

Sebuah hadist yang diriwayatkan Dailamy berasal dari Anas, bahwa Nabi Muhammad saw. Pernah berkata, “Berbahagialah seseorang yang mau meneliti cacat dirinya sendiri daripada memperkatakan cacat orang lain.” Cobalah renungkan bunyi hadist dan resapi ke dalam hati dan jalarkan hingga tulang sumsum. Sungguh, jika ajaran ini menjadi sesuatu yang diwajibkan untuk diri setiap orang, maka alangkah indah dunia. Dunia akan diselimuti kedamaian. Tidak akan ada lagi para pelakon sandiwara yang akan mengeluh di atas pentas dunia.

Sebenarnya , cacat atau kekurangan itu awal mula diketahui oleh si empunya diri sendiri. Namun, diri itu kerap menganggapnya sebagai angin lalu tidak dicermati secara mendalam. Banyak kekurangan yang terdapat dalam setiap pribadi, baik itu kekurangan ilmu, pengetahuan, dan sebagainya. Tetapi yang paling utama dijadikan sasarana penelitian ialah bidang akhlak. Sebab inilah barometer yang akan menentukan nilai manusia itu. Banyak orang yang berpredikat sebagai sarjana, pejabat tinggi negara, bahkan ustadz tetapi karena kebejatan moral, nilainya menjadi rendah. Dan pada hakikatnya fungsi ilmu pengetahuan itu adalah membedakan baik dan buruk. Bukan hanya sekadar diketahui tetapi direalisir sebagai perangai dalam kehidupan.

Imam al-Ghazali mengajarkan 4 cara untuk mengenal cacat diri, yaitu. Pertama, suka mendengarkan ajaran Guru (ulama). Duduk menghadap guru yang mendengar ajaran-ajaran agama. Sehingga dia akan mengetahui dan dapat membedakan antara yang baik dan buruk, pahala dan dosa. Jika  guru tersebut membahas berketepatan dengan kesalahan-kesalahan, tentulah menjadi moment melakukan perubahan. Jangan diteruskan perbuatan masa silam serta jangan ukur benar salah suatu perbuatan hanya pada selera. Guru yang dimaksud pun harus guru yang benar, kapasitas keilmuannya shohih dan berdasar al-Quran dan Sunnah.

Kedua, mencari kawan yang mau mengawasi dirinya. Unsur kedua ini agak susah mencari dan juga mempraktekkannya. Jarang terjumpai kawan yang mau menunjukkan kekurangan awak. Terkadang, bukan karena kawan itu tidak mau, tetapi takut menyinggung perasaan yang membawa keretakan. Karena itu perlulah dalam pertemanan dibangun sikap nasehat-menasehati secara jujur dilandasi dengan keikhlasan.

Khalifah Umar bin Khattab dalam pemerintahannya mengangkat Salman sebagai petugas khusus mengamati tindakannya dalam memegang amanah.  Suatu ketika beliau bertanya pada Salman tentang berita-berita dirinya yang kurang disukai masyarakat. Selain pada Salman, Umar juga sering berkonsultasi pada Hudzaifah apakah ada sifat-sifat munafik yang terdapat pada diri Umar. Subhanallah.

Seorang Hukama, Dau At-Thay terpaksa memisahkan diri dari orang banyak karena sering diberikan pujian seraya berkata, “Apa yang harus kuperbuat terhadap orang-orang yang menyembunyikan cacat-cacat diriku di hadapanku?”

 Ketiga, mengambil faedah dari mulut musuh. Umumnya, seseorang yang merupakan musuh tentu membeberkan kekurangan diri kita. Ada kalanya kekurangan diri yang selama ini tertutup terungkap. Perbuatan musuh yang mengungkap kesalahan dan kekurangan bahkan bisa jadi lebih bermanfaat bagi diri kita bila mau memperbaikinya. Ketimbang perbuatan palsu orang yang mengaku ‘kawan’ tetapi perilakunya hanya menjilat.
Keempat, bergaul dengan orang banyak. Manusia adalah makhluk sosial. Makhluk yang hidupnya harus bergaul, haru bersentuhan dengan orang lain. Dari hubungan-hubungan itu tentu banyak kesan yang timbul. Ada yang baik, ada pula yang buruk tentang kita. sebagai ummat beragama tentulah apa yang baik itu ialah yang mengandung unsur agama atau sesuai keridhaan Allah. Kesan-kesan yang dinilai orang banyak terhadap agama atau akhlak kita hendaklah menjadi cerminan untuk berperilaku ke depan.

Demikianlah 4 cara yang diajarkan oleh Imam Ghazali kepada manusia untuk mengetahui cacat-cacat dirinya. Seteleh mengetahui tentu timbul keinginan untuk memperbaiki atau menyempurnakan. Ditambah mana yang kurang. Dikurangi mana yang berlebih. Semoga.
Comments
0 Comments

Tidak ada komentar:

Posting Komentar