Al-Mumtahanah
berarti perempuan yang diuji. Surah al-Mumtahanah cukup banyak
berbicara tentang bagaimana menempatkan rasa cinta dan kasih sayang.
Bahwa sebuah sikap atau perasaan sebentuk cinta dan kasih sayang
maupun benci itu mesti ditempatkan pada tempat yang baik dan benar yakni karena Allah.
Bahwa
tiada boleh kaum beriman itu bercinta, bermesra ria, akrab pada kaum
kafirin, apalagi yang terang-terangan memusuhi Islam. Akan tetapi, bagi
kaum kafir yang tidak memerangi dan tidak menjajah serta tidak mengusir
kaum beriman dari negerinya tidaklah mengapa untuk saling
hormat-menghormati. Bersikaplah adil pada mereka. Asma’ bin Abi Bakar
kala itu bertanya pada Siti ‘Aisyah untuk disampaikan pada Rasulullah,
bahwa bolehkah dia (Asma’) berbuat baik pada Siti Qatilah (ibu
kandungnya) yang kafir. Sebab tanya tersebut , turunlah ayat 8 surah
al-Mumtahanah bahwa Allah tiada melarang berbuat baik pada orang kafir
yang tidak memusuhi agama Allah...
Subhanallah..
Al-Mumtahanah
sebagaimana artinya yakni perempuan yang diuji. Khususnya berkenaan
dengan muslimah yang berhijrah ba’da perjanjian Hudaibiyah. Tatkala itu,
datang wanita mukminah dari Mekkah atas dorongan iman hendak ikut ke
Madinah , berlindung di bawah naungan Islam. Seperti Ummu Kultsum binti
‘Uqbah, Umaimah binti Basyir, Sa’idah. Namun sebab di pasal perjanjian
Hudaibyah belum ada membahas khusus wanita, dan kaum kafirin pun
menuntut wanita-wanita itu kembali, maka Nabi menunggu keputusan
dari-Nya. sehingga turunlah ayat-ayat surah al-Mumtahanah menjawabnya..
Turunlah
ayat yang memerintahkan Nabi untuk menguji para wanita tersebut. Apakah
mereka hijrah betul-betul dilakukan karena Allah, karena Iman bukan
karena ingin melepaskan diri dari suami, bukan karena mencari keuntungan
pribadi, bukan karena ada yang orang yang dicintai di Madinah sehingga
agama dijadikan topeng.
Kaum
wanita mukminan itu pun lulus dari ujian tersebut. Mereka bersumpah
bahwa mereka benar-benar hijrah karena keimanan. Setelah itu, mereka itu
pun dilindungi dan tidak dikembalikan pada suami-suami mereka yang
musyrik. Menjadi terang dan tegaslah bagaimana sikap kaum beriman
terhadap hubungan cinta.
Dikembalikanlah
kepada suami mereka mahar yang telah diberikan. Alhasil, mereka pun
bisa dinikahi oleh sesama insan beriman. Sebaliknya , kaum beriman pun
diperintah untuk menceraikan, memutuskan tali kasih sayang pada
perempuan-perempuan kafir. Umar bin Khattab menceraikan dua istrinya
yang masih musyrik di Mekkah, yakni Quraibah binti Abi Umayyah dan Ummu
Kaltsum binti Amr al-Khuza’iyyah. Thalhah bin Ubaidillah cerai pula
dengan Arwaa binti Rabi’ah. (Namun Arwaa’ setelah itu, dalam keadaan
sudah janda, Arwaa hijrah pula ke Madinah, kemudian Rasulullah
menikahkannya dengan Khalid bin Said).
Subhanallah...
Begitulah
insan beriman baik muslim maupun muslimah yang sejati. Bagaimana ia
menempatkan kecintaan pada tempat yang tepat. Ia mencinta dan membenci
karena Allah semata. Ia ikhlas hijrah karena Allah semata, bukan karena
keuntungan dan kepentingan pribadi, bukan ingin mencari jodoh, bukan
karena agar jumpa si ‘dia’ dsb...
Cinta pada Allah, berubah ke baik arah, hijrah, taubat pun murni karena Allah...
Ini
pulalah yang dicontohkan oleh Hindun binti Utbah, 'Akilatul Kibdah''
(pemakan hati), ia yang dulunya memotong telinga dan hidung (menjadikan
gelang dan kalung) jenazah pejuang Muslim perang Uhud. Kemudian
merobek-robek perut Hamzah paman Nabi, dan memakan hati beliau sebagai
bentuk ‘balas dendam’ atas kematian putera dan saudaranya di perang
Badar..
Pada
saat Mekkah sudah ditaklukkan (Fathu Makkah), Hindun ternyata ikut
turut serta berbaiat pada Islam. Dan di kemudian hari beliau menjadi
pejuang Islam khususnya di Perang Yarmuk. Beliau menjadi pembangkit
semangat, motivator bagi para pejuang Islam...
Subhanallah..
Semoga Allah menjadikan kita menempatkan rasa cinta dan benci pada tempat yang semestinya dan terus perbaiki kondisi kita..