Senin, 11 April 2016

Senyum dan Tawa di Malam Bulan Purnama






Tahun 619 Masehi kala itu, Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam kehilangan istri tercintanya, Khadijah sekaligus pula pelindung yang menjadi pemimpin Bani Hasyim, Abu Thalib. Kondisi beliau kala itu, tidak hanya merasa kehilangan yang teramat, tapi juga memerlukan partner dalam mengurus rumah tangganya lebih-lebih ia masih punya dua anak gadis yang belum menikah, Ummu Kultsum dan Fatimah. Di luar sana, ummatnya membutuhkan bimbingan dari beliau sementara warga kota Mekkah semakin menentang ajaran-ajaran Islam.


Namanya Saudah binti Zam’ah bin Qois bin ’Abdi Syams al-Qurosyyiyah. Ibunya Syumus binti Qois bin Zaid bin ’Amru bin Zaid bin Labid bin Khidasy bin ’Amir bin Ghunm bin ’Adi bin Najjar. Saudah ialah wanita terbaik di zamannya. Sebelumnya ia menikah dengan Sakron bin ’Amru bin ’Abdi Syams bin ’Abdi Wudd bin Nashr. Saudah ialah wanita yang menjadi pengikut Nabi sejak awal di Mekkah. Begitupula suaminya, Sakron. Keduanya termasuk rombongan yang berhijrah ke Habasyah (Ethiopia) pada hijrah kedua.


Pada tahun itu, 619 M, Saudah dan suami pulang ke Makkah dari pengungsian di Habsyi. Qaddarullah, tak lama kemudian suaminya meninggal dunia. Saudah pun menjadi janda.

Di sisi lain, sahabat-sahabat terdekat Nabi melihat tanda-tanda kesedihan pada diri beliau, sehingga mereka pun memutuskan untuk membujuk beliau menikah. Adalah Khoulah binti Hakim As-Sulamiyyah datang pada Baginda. ”Wahai Rasulullah, sepertinya aku melihat ada yang kurang setelah perginya Khadijah,” Nabi menjawab, ”Benar, ia adalah ibunda kaum papa dan pendidik di rumah.”

Khoulah bertanya, ”Wahai Rasulullah, mengapa Anda tidak menikah saja?”

”Dengan siapa?” tanya beliau.

Khoulah menjawab, ”Terserah Anda, jika mau dengan yang perawan dan jika mau dengan yang janda.”

”Siapakah perawan?” tanya beliau lagi.

Khoulah menjawab,” Putri Makhluk Allah yang paling Anda cintai, ’Aisyah binti Abu Bakar.”

Beliau bertanya lagi, ”Siapakah yang janda?”

”Saudah binti Zam’ah, yang telah beriman kepada Anda dan mengikuti semua yang Anda titahkan,” jawab Khoulah.

Akhirnya beliau Shallallahu ’Alaihi wa sallam mengizinkan Khoulah untuk melamar kedua-duanya. Maka pertama-tama, Khoulah mendatangi rumah Saudah. Saudah menjadi pilihan awal. Ia wanita yang sudah dewasa, berhati teguh dan telah terbukti memiliki keterampilan seorang ibu rumah tangga.

Khoulah bertandang ke rumah Zam’ah, bertemu putrinya Saudah. Khoulah berkata, ”Kebaikan dan berkah apa gerangan yang Allah masukkan ke dalam dirimu wahai Saudah?

Saudah heran. Sangat heran. Ia bertanya dengan penuh keheranan.

”Apa maksudmu, wahai Khoulah?”

Khoulah menyampaikan kabar gembira itu, ”Rasulullah mengutusku untuk melamarmu.”

Dengan gemetar penuh kebahagiaan dan gembira, Saudah berkata, ”Sungguh, aku senang sekali. Temuilah ayahku dan beritahukan hal itu kepadanya.”

Khoulah pun masuk menemui ayah Saudah, ”Sesungguhnya Muhammad bin Abdullah mengutuskan untuk melamarkan Saudah untuknya.”

Begitu mendengarnya, orang tua itu langsung berteriak, ”Pasangan yang cocok (sesuai) lagi mulia, lalu apakah yang dikatakan calon istrinya (Saudah)?”

Khoulah menjawab, ”Ia menyukai hal itu.”

Orangtua itu ingin mendengar sendiri jawaban dari Saudah. Beliau pun menyuruh Khoulah agar memanggil Nabi Muhammad Saw untuk datang kepadanya.

Rasulullah Saw datang, lalu orangtuanya itu langsung menikahkan beliau dengan Saudah.

Rumah tangga mereka pun dimulai. Sebagai pelipur lara. Juga diisi dengan penuh bahagia dan tawa. Saudah radhiiyallahu ‘anha ikut senang sekali jika Rasulullah Saw tertawa bahagia termasuk ketika melihatnya berjalan – karena ia memiliki bobot badan yang berat- dan beliau juga terhibur dengan jiwa Saudah yang ringan dan kata-katanya yang meneduhkan.


Suatu malam, di tahun 622 M, sekelompok orang yang berkomplot mendekati rumah Nabi untuk membunuh beliau. Mereka mendengar suara-suara wanita. Sang pemilik suara tampaknya adalah Saudah, Ummu Kultsum, Fatimah dan pelayan mereka, Ummu Ayman. Mereka sedang dalam diskusi rumah tangga yang hangat. Saling tertawa membicarakan urusan rumah tangga. Dalam Adat Arab, tidak boleh melanggar privasi kaum perempuan. Para pembunuh pun merubah sedikit rencana mereka, menunda sejenak, agar tidak melanggar adat.

Akan tetapi, singkat cerita, Nabi Muhammad Saw, target mereka berhasil meloloskan diri. Mereka hanya menemui Ali di tempat tidur.


Episode baru dimulai, Rasulullah Saw berhasil hijrah ke Madinah. Ia kemudian mendirikan masjid dan kamar-kamar untuk keluarganya. Tidak lama kemudian, Saudah tiba dengan Fatimah, Ummu Kultsum dan Ummu Ayna.

Dalam waktu sekitar setahun, seorang pengantin belia, ’Aisyah hadir dan bergabung di rumah tangga Nabi dan tingga di kamar di sebelah kamar Saudah. Kebaikan Saudah sangat, ’Aisyah kenang, ”Aku tidak pernah menemui wanita yang mencintaiku lebih daripada Saudah. Kuharap aku bisa seperti dirinya.” Dalam riwayat lain ”Tatkala ia mulai tua, ia mulai berkata, ”Wahai Rasulullah, aku berikan jatah hariku bagimu untuk ’Aisyah.”

Disebut dalam sebuah riwayat juga, bahwa Saudah sering jadi sasaran iseng ’Aisyah. Dia menggoda Saudah dengan mengatakan bahwa Dajjal telah muncul. Saudah pun, yang sangat takut dengan Dajjal, bergegas bersembunyi, sementara ’Aisyah dan Hafshah meledak dengan gelak tawa. Ketika mereka memberi tahu Nabi Muhammad Saw mengenai hal itu, beliau menyelamatkan istrinya yang ketakutan itu.

Begitulah, istri Baginda yang kedua, yang disebut-sebut memiliki tubuh gemuk. Saudah hidup di rumah Rasul. Dan tetap hidup selama 22 tahun setelah Nabi Saw atau beliau hidup hingga akhir-akhir masa kekhalifahan Umar bin Khattab.

Bagaimana Saudah setelah kekasihnya wafat? Bagaimana Saudah mengatasi kehilangan yang amat menghancurkan hati itu? Setiap istri kehilangan suami, teman dekat, dan pembimbing spiritualnya. Meski berduka secara kolektif (bersama istri-istri lain), tapi setiap istri merasa dirinya sendirian.

Saudah sangat mengikuti sunnah Nabinya. Ia mengingat betul pesan suaminya di haji Wada’ kala itu, ”Inilah haji yang terakhir. Setelah itu, hendaklah kalian kalian tetap tinggal di rumah-rumah kalian.”

Abu Hurairah mengungkapkan bagaimana Saudah mempraktekkan pesan suaminya, ”Kala itu semua istri Nabi berhaji selain Saudah binti Zam’ah dan Zainab binti Jahsy, mereka berdua mengatakan, ”Demi Allah, tidak ada lagi binatang tunggangan yang akan menggerakkan kami sepeninggal Rasulullah.”

Saudah juga  memiliki akhlak mulia, salah satunya ia gemar bersedekah. ’Aisyah menceritakan, ”Suatu hari, istri-istri Nabi Saw berkumpul di tempat beliau. Mereka berkata, ”Wahai Rasulullah, siapakah di antara kami yang paling cepat menyusul Anda?” Beliau menjawab, ”Yang paling panjang tangannya.”

Maka, kami (istri-istri) mengambil sebilah bambu. Dengannya, lalu kami mengukur lengan kami. Ketika itu Saudah binti Zam’ah lengannya yang paling panjang.’ Begitu Rasulullah Saw wafat, ternyata yang paling cepat menyusul beliau adalah Saudah.

Secara majazi sebenarnya, makna panjang lengan itu yang dimaksud Baginda ialah senang bersedekah. Itu tampak ada pada Saudah. Salah satunya tergambar dari kisah bahwa suatu ketika Umar bin Khattab mengirim sekantong dirham kepada Saudah. Saudah bertanya, ”Apa ini?”

”Uang dirham” jawab para utusan.

Singkat cerita ia pun membagi-bagikan uang dirham tsb kepada pembantunya.

Begitulah sedikit tentang sosok Saudah, istri Baginda, Ibu kita, Ibu Orang-orang yang beriman...


”Aku tak terburu-buru memiliki suami, tapi kuingin Allah bangkitkan aku sebagai istrimu di Hari Kebangkitan...”

Nabi Muhammad Saw tertawa. Beliau melihat Saudah berusaha naik ke surga dan siapa yang bisa menghentikannya......


Semoga bermanfaat
Wallahua’lam
                         
Please Like and Share


Comments
0 Comments

Tidak ada komentar:

Posting Komentar