Tahun 619 Masehi kala itu, Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam
kehilangan istri tercintanya, Khadijah sekaligus pula pelindung yang menjadi
pemimpin Bani Hasyim, Abu Thalib. Kondisi beliau kala itu, tidak hanya merasa
kehilangan yang teramat, tapi juga memerlukan partner dalam mengurus rumah
tangganya lebih-lebih ia masih punya dua anak gadis yang belum menikah, Ummu
Kultsum dan Fatimah. Di luar sana, ummatnya membutuhkan bimbingan dari beliau
sementara warga kota Mekkah semakin menentang ajaran-ajaran Islam.
Namanya Saudah binti Zam’ah bin Qois bin ’Abdi Syams al-Qurosyyiyah. Ibunya
Syumus binti Qois bin Zaid bin ’Amru bin Zaid bin Labid bin Khidasy bin ’Amir
bin Ghunm bin ’Adi bin Najjar. Saudah ialah wanita terbaik di zamannya.
Sebelumnya ia menikah dengan Sakron bin ’Amru bin ’Abdi Syams bin ’Abdi Wudd
bin Nashr. Saudah ialah wanita yang menjadi pengikut Nabi sejak awal di Mekkah.
Begitupula suaminya, Sakron. Keduanya termasuk rombongan yang berhijrah ke
Habasyah (Ethiopia) pada hijrah kedua.
Pada tahun itu, 619 M, Saudah dan suami pulang
ke Makkah dari pengungsian di Habsyi. Qaddarullah, tak lama kemudian suaminya meninggal dunia. Saudah pun menjadi
janda.
Di sisi lain, sahabat-sahabat terdekat Nabi melihat tanda-tanda kesedihan
pada diri beliau, sehingga mereka pun memutuskan untuk membujuk beliau menikah.
Adalah Khoulah binti Hakim As-Sulamiyyah datang pada Baginda. ”Wahai
Rasulullah, sepertinya aku melihat ada yang kurang setelah perginya Khadijah,”
Nabi menjawab, ”Benar, ia adalah ibunda kaum papa dan pendidik di rumah.”
Khoulah bertanya, ”Wahai Rasulullah, mengapa Anda tidak menikah saja?”
”Dengan siapa?” tanya beliau.
Khoulah menjawab, ”Terserah Anda, jika mau dengan yang perawan dan jika mau
dengan yang janda.”
”Siapakah perawan?” tanya beliau lagi.
Khoulah menjawab,” Putri Makhluk Allah yang paling Anda cintai, ’Aisyah
binti Abu Bakar.”
Beliau bertanya lagi, ”Siapakah yang janda?”
”Saudah binti Zam’ah, yang telah beriman kepada Anda dan mengikuti semua
yang Anda titahkan,” jawab Khoulah.
Akhirnya beliau Shallallahu ’Alaihi wa sallam mengizinkan Khoulah untuk
melamar kedua-duanya. Maka pertama-tama, Khoulah mendatangi rumah Saudah.
Saudah menjadi pilihan awal. Ia wanita yang sudah dewasa, berhati teguh dan
telah terbukti memiliki keterampilan seorang ibu rumah tangga.
Khoulah bertandang ke rumah Zam’ah, bertemu putrinya Saudah. Khoulah
berkata, ”Kebaikan dan berkah apa gerangan yang Allah masukkan ke dalam dirimu
wahai Saudah?
Saudah heran. Sangat heran. Ia bertanya dengan penuh keheranan.
”Apa maksudmu, wahai Khoulah?”
Khoulah menyampaikan kabar gembira itu, ”Rasulullah mengutusku untuk
melamarmu.”
Dengan gemetar penuh kebahagiaan dan gembira, Saudah berkata, ”Sungguh, aku
senang sekali. Temuilah ayahku dan beritahukan hal itu kepadanya.”
Khoulah pun masuk menemui ayah Saudah, ”Sesungguhnya Muhammad bin Abdullah
mengutuskan untuk melamarkan Saudah untuknya.”
Begitu mendengarnya, orang tua itu langsung berteriak, ”Pasangan yang cocok
(sesuai) lagi mulia, lalu apakah yang dikatakan calon istrinya (Saudah)?”
Khoulah menjawab, ”Ia menyukai hal itu.”
Orangtua itu ingin mendengar sendiri jawaban dari Saudah. Beliau pun
menyuruh Khoulah agar memanggil Nabi Muhammad Saw untuk datang kepadanya.
Rasulullah Saw datang, lalu orangtuanya itu langsung menikahkan beliau
dengan Saudah.
Rumah tangga mereka pun dimulai.
Sebagai pelipur lara. Juga diisi dengan penuh bahagia dan tawa. Saudah
radhiiyallahu ‘anha ikut senang sekali jika Rasulullah Saw tertawa bahagia
termasuk ketika melihatnya berjalan – karena ia memiliki bobot badan yang
berat- dan beliau juga terhibur dengan jiwa Saudah yang ringan dan kata-katanya
yang meneduhkan.
Suatu malam, di tahun 622 M, sekelompok orang
yang berkomplot mendekati rumah Nabi untuk membunuh beliau. Mereka mendengar suara-suara wanita. Sang
pemilik suara tampaknya adalah Saudah, Ummu Kultsum, Fatimah dan pelayan
mereka, Ummu Ayman. Mereka sedang dalam diskusi rumah tangga yang hangat.
Saling tertawa membicarakan urusan rumah tangga. Dalam Adat Arab, tidak boleh
melanggar privasi kaum perempuan. Para pembunuh pun merubah sedikit rencana
mereka, menunda sejenak, agar tidak melanggar adat.
Akan tetapi, singkat cerita, Nabi Muhammad Saw, target mereka berhasil
meloloskan diri. Mereka hanya menemui Ali di tempat tidur.
Episode baru dimulai, Rasulullah
Saw berhasil hijrah ke Madinah. Ia kemudian mendirikan masjid dan kamar-kamar
untuk keluarganya. Tidak lama
kemudian, Saudah tiba dengan Fatimah, Ummu Kultsum dan Ummu Ayna.
Dalam waktu sekitar setahun, seorang pengantin belia, ’Aisyah hadir dan
bergabung di rumah tangga Nabi dan tingga di kamar di sebelah kamar Saudah.
Kebaikan Saudah sangat, ’Aisyah kenang, ”Aku tidak pernah menemui wanita yang
mencintaiku lebih daripada Saudah. Kuharap aku bisa seperti dirinya.” Dalam
riwayat lain ”Tatkala ia mulai tua, ia mulai berkata, ”Wahai Rasulullah, aku
berikan jatah hariku bagimu untuk ’Aisyah.”
Disebut dalam sebuah riwayat juga, bahwa Saudah sering jadi sasaran iseng
’Aisyah. Dia menggoda Saudah dengan mengatakan bahwa Dajjal telah muncul.
Saudah pun, yang sangat takut dengan Dajjal, bergegas bersembunyi, sementara
’Aisyah dan Hafshah meledak dengan gelak tawa. Ketika mereka memberi tahu Nabi
Muhammad Saw mengenai hal itu, beliau menyelamatkan istrinya yang ketakutan
itu.
Begitulah, istri Baginda yang kedua, yang disebut-sebut memiliki tubuh
gemuk. Saudah hidup di rumah Rasul. Dan tetap hidup selama 22 tahun setelah
Nabi Saw atau beliau hidup hingga akhir-akhir masa kekhalifahan Umar bin
Khattab.
Bagaimana Saudah setelah kekasihnya wafat? Bagaimana Saudah mengatasi
kehilangan yang amat menghancurkan hati itu? Setiap istri kehilangan suami,
teman dekat, dan pembimbing spiritualnya. Meski berduka secara kolektif (bersama
istri-istri lain), tapi setiap istri merasa dirinya sendirian.
Saudah sangat mengikuti sunnah Nabinya. Ia mengingat betul pesan suaminya
di haji Wada’ kala itu, ”Inilah haji yang terakhir. Setelah itu, hendaklah
kalian kalian tetap tinggal di rumah-rumah kalian.”
Abu Hurairah mengungkapkan bagaimana Saudah mempraktekkan pesan suaminya,
”Kala itu semua istri Nabi berhaji selain Saudah binti Zam’ah dan Zainab binti
Jahsy, mereka berdua mengatakan, ”Demi Allah, tidak ada lagi binatang
tunggangan yang akan menggerakkan kami sepeninggal Rasulullah.”
Saudah juga memiliki akhlak mulia,
salah satunya ia gemar bersedekah. ’Aisyah menceritakan, ”Suatu hari,
istri-istri Nabi Saw berkumpul di tempat beliau. Mereka berkata, ”Wahai
Rasulullah, siapakah di antara kami yang paling cepat menyusul Anda?” Beliau
menjawab, ”Yang paling panjang tangannya.”
Maka, kami (istri-istri) mengambil sebilah bambu. Dengannya, lalu kami
mengukur lengan kami. Ketika itu Saudah binti Zam’ah lengannya yang paling
panjang.’ Begitu Rasulullah Saw wafat, ternyata yang paling cepat menyusul
beliau adalah Saudah.
Secara majazi sebenarnya, makna panjang lengan itu yang dimaksud Baginda
ialah senang bersedekah. Itu tampak ada pada Saudah. Salah satunya tergambar
dari kisah bahwa suatu ketika Umar bin Khattab mengirim sekantong dirham kepada
Saudah. Saudah bertanya, ”Apa ini?”
”Uang dirham” jawab para utusan.
Singkat cerita ia pun membagi-bagikan uang dirham tsb kepada pembantunya.
Begitulah sedikit tentang sosok Saudah,
istri Baginda, Ibu kita, Ibu Orang-orang yang beriman...
”Aku tak terburu-buru memiliki suami, tapi kuingin Allah bangkitkan aku
sebagai istrimu di Hari Kebangkitan...”
Nabi Muhammad Saw tertawa. Beliau melihat Saudah berusaha naik ke surga dan
siapa yang bisa menghentikannya......
Semoga bermanfaat
Wallahua’lam
Please Like and Share