Bagi
sesiapa yang mau merenungkan bahwa betapa luar biasa Allah menciptakan
makhluk-makhluk-Nya tentu akan timbul rasa khassyah (takut) pada Tuhan
semesta. Untuk selanjutnya akan muncul ketaatan pada Tuhan. Akan muncul
kerinduan bertemu dengan-Nya.
Namun,
Orang yang tertutup hatinya, saat mendngar perintah Tuhan atau dalam
memandang Hari Kemudian, ia bersikap mengingkari lagi mencemooh.
Sebagaimana kaum kafir Quraisy dahulu yang mengucapkan kata-kata yang
bernada menyepelekan dan mencemooh Hari Kebangkitan.
Padahal
batas antara dunia ini dan hari Kemudian itu hanya perkara ‘tiupan’
saja. Bukan perkara yang susah bagi-Nya. Bila sudah tiba waktunya, tiada
yang bisa menundanya. Seluruh manusia dari zaman bahola hingga sekarang
atau akhir zaman dikumpulkan untuk menerima ketetapan Allah. Seluruh
amal tiap manusia ditampakkan.
Dan
ada tauladan indah dalam kisah Nabi Musa ‘alaihissalam dan Firaun.
Tentang sikap terbaik bagaimana da’i mengingatkan siapa yang
keterlaluan, sewenang-wenang, diktator nan lupa Tuhan. Yakni dengan
lemah lembut. Dengan mengatakan kalimat “sudikah engkau” atau “maukah
engkau”. Dengan kata lain, dalam berdakwah mesti menggunakan kalimat
yang lemah lembut penuh kesantunan.
Buya
Hamka di dalam tafsirnya tentang ayat 19 surah an-Nazi’at mengatakan ,
“Dengan bertutur hormat itu, Fir’aun tidak akan begitu merasakan dirinya
dihinakan, sehingga mudah dimasukkan pengajaran. Tetapi kalau dimulai
dengan keras, dia tidak akan beranjak dari kesombongannya, satu
pengajaran bagi kita yang berjuang di bidang Dakwah”.
Begitulah
urgensi komunikasi dalam dakwah. Sering sang komunikan sebenarnya
menolak cara penyampaian , bukan apa yang disampaikan. Karena itu,
seorang dai semaksimal mungkin menggunakan komunikasi yang efektif,
yakni sesuai keperluan mad’u. Meskipun dalam Kisah, Usaha Nabi Musa
mengingatkan Firaun tidak juga membuat Firaun berubah. Yang pasti,
teladan indah bagi dai kala melihat prosesnya.