Kala
mentadabburi ayat 15 surah al-Fajr, Mujahid berkata, “Manusia menyangka
bahwa Allah memuliakannya karena hartanya yang banyak dan Allah
menghinakannya karena hartanya yang sedikit. Dia bohong. Sesungguhnya
Allah memuliakan seseorang karena ia taat kepada-Nya dan menghinakan seseorang karena ia durhaka kepada-Nya.”
Subhanallah..
Seringkali
kita terjebak menjadi pribadi materialistis. Menilai kemuliaan dan
kehinaan dari harta duniawi. Saat diuji Allah dengan kemakmuran, harta
melimpah, nikmat yang menyenangkan manusia kerap tertipu dan terperdaya.
Ia merasa dimuliakan Tuhan. Sementara itu, kala Tuhan menguji dengan
kemiskinan, kesengsaraa hidup, kesempitan rezeki, ia mengira bahwa
dirinya dihinakan Tuhan.
Na’udzubillah...
Semoga
kita tidak terjangkit penyakit seperti itu. Semoga kita jauh dari
mencintai harta secara berlebihan, menjadi budak harta benda,
menghabiskan waktu untuk menumpuk, menentang berbagai bahaya demi
merengkuh, terlalu sering bepergian untuk mengejarnya.
Hendaknya ujian berjudul kekayaan itu untuk disyukuri dan dibagi.
Belajarlah
dari Utsman bin Affan radhiyallahu ‘anhu. Dalam suatu riwayat yang
bersumber dari Ibnu Abbas, Nabi shalallahu ‘alaihi wa salam bersabda,
“Siapakah yang akan membeli sumur Rumat untuk melepaskan dahaga.
Mudah-mudahan Allah Mengampuni dosanya.” Sumur itu pun dibeli oleh
Utsman. Nabi bersabda : “Apakah engkau rela sumur itu dijadikan sumber
air minum bagi semua orang?” Utsman mengiakannya..
Maka Allah Menurunkan ayat 27 surah al-Fajr (Ya ayyatuhannafsul muthmainnah…) berkenaan dengan Utsman.
Subhanallah…
Islam
tidak melarang untuk kaya terbukti dari sahabat-sahabat Nabi yang kaya
raya. Namun, Islam mengajarkan untuk meletakkannya di tangan bukan di
hati. Mengumpulkan harta untuk berbakti pada Ilahi, untuk dibagi-bagi.
Bukan untuk ditumpuki dan melalaikan kewajiban.
Semoga Allah membuat dunia di tangan dan akhirat di hati. Aamiin