Sabtu, 29 Juni 2013

istri yang luar biasa

Dalam suatu riwayat dikemukakan bahwa Abu Bakar meminta izin untuk bicara pada Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasalam akan tetapi beliau tidak mengizinkannya. Demikian juga Umar, tidak diizinkan oleh beliau. Namun, tidak lama kemudian, keduanya diizinkan masuk di saat Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa salam, duduk terdiam dikelilingi istri-istrinya (yang menuntut nafkah dan perhiasan). Umar bermaksud menggoda Rasulullah agar tertawa dengan berkata, “Ya Rasulullah, sekiranya putrid Zaid (istri Umar) minta belanja, akan kupenggal lehernya.” Maka tertawa lebarlah Rasulullah shalallahu ‘alaiihi wa salam dan bersabda : “Mereka yang ada di sekelilingku ini meminta nafkah kepadaku.” Maka berdirilah Abu Bakar menghampiri ‘Aisyah untuk memukulnya, demikian juga Umar menghampiri Hafshah sambil keduanya berkata, “Kalian meminta sesuatu yang tak ada pada Rasulullah?” Maka Allah menurunkan ayat 28 surah al-Ahzab sebagai petunjuk pada Rasulullah agar istri-istrinya menentukan sikap (memilih Rasul atau harta benda). Beliau mulai bertanya kepada ‘Aisyah tentang pilihannya dan menyuruhnya bermusyawarah lebih dahulu dengan kedua ibu bapaknya. ‘Aisyah menjawab : “Apa yang mesti kupilih?” Rasulullah membacakan ayat 28-29. Dan ‘Aisyah menjawab: “Apakah soal yang berhubungan dengan tuan mesti bermusyawarah dulu dengan ibu bapakku? Padahal aku sudah menetapkan pilihan, yaitu Allah dan Rasul-Nya.”

Subhanallah..

Laki-laki yang hebat, tentunya ditopang oleh istri yang hebat. Dan itu sudah dicontohkan oleh istri-istri Rasulullah. Allah muliakan mereka dengan kedudukan yang mulia sebagai istri Rasul-Nya. Mereka lebih memilih Allah dan Rasul-Nya ketimbang harta dan perhiasan dunia.

Kedudukan yang kuat mengakibatkan tanggung jawab yang besar pula. Istri Nabi berlipat ganda siksa bilamana mereka melakukan dosa sebagaimanapula mereka akan mendapat pahala berlipat kala taat. Dan sungguh, istri-istri Nabi semuanya mulia.

Hendaknya para wanita mengikuti jalan ummul Mukminin, mengikuti jejak-jejak kemuliaan mereka, melaksanakan perintah Allah dan menjadi tauladan bagi yang lain. Bagaimana bila Istri pejabat meneladani ummul mukminin yang hidup sederhana, tidak menuntut harta dunia, sehingga terkikislah potensi korup oleh suami , menyadari bahwa jabatan itu amanah bukan peluang untuk memerah. Dsb…

Ingat kisah Fatimah binti Abdul Malik bin Marwan, istri Umar bin Abdul Azis, anak seorang khalifah dan juga istri seorang khalifah, ia rela melepas segala kemewahan kala sang suami menjadi pemimpin dan tokoh besar.
kala itu, Dengan suara lirih Umar bin Abdul Aziz berkata dengan lembut dan penuh kasih-sayang kepada sang isteri tercinta, “Fatimah, isteriku...! Bukankah engkau telah tahu apa yang menimpaku? Beban yang teramat dipikulkan kepundakku, menjadi nakhoda bahtera yang dipenuhi, ditumpangi oleh umat Muhammad Shalallahu ‘Alaihi Wasalam. Tugas ini benar-benar menyita waktuku hingga hakku terhadapmu akan terabaikan. Aku khawatir kelak engkau akan meninggalkanku apabila aku akan menjalani hidupku yang baru, padahal aku tidak ingin berpisah denganmu hingga ajal menjemputku.”

“Lalu, apa yang akan engkau lakukan sekarang?” tanya Fatimah.

“Fatimah...! engkau tahu bukan, bahwa semua harta, fasilitas yang ada ditangan kita berasal dari umat Islam, aku ingin mengembalikan harta tersebut ke baitul mal, tanpa tersisa sedikitpun kecuali sebidang tanah yang kubeli dari hasil gajiku sebagai pegawai, disebidang tanah itu kelak akan kita bangun tempat berteduh kita dan aku hidup dari sebidang tanah tersebut. Maka jika engkau tidak sanggup dan tidak sabar terhadap rencana perjalanan hidupku yang akan penuh kekurangan dan penderitaan maka berterus-teranglah, dan sebaiknya engkau kembali ke orang tuamu!” jawab Umar bin Abdul Aziz.

Fatimah kembali bertanya,”Ya suamiku...apa yang sebenarnya membuat engkau berubah sedemikian rupa?”

“Aku memiliki jiwa yang tidak pernah puas, setiap yang kuinginkan selalu dapat kucapai, tetapi aku menginginkan sesuatu yang lebih baik lagi yang tidak ternilai dengan apapun juga yakni surga, surga adalah impian terakhirku,” jawab Umar bin Abdul Aziz lagi.

Fatimah yang notabene merupakan wanita yang terbiasa hidup mewah, dengan fasilitas yang disediakan dan pelayanan yang super maksimal, tidak kecewa mendengar keputusan suaminya ia. Ia tidak menunjukan kekesalan dan keputus asaan. Justeru dengan suara yang tegar, mantap ia menegaskan,

“Suamiku...! Lakukanlah yang menjadi keinginanmu dan aku akan setia disisimu baik dikala susah atau senang hinga maut memisahkan kita.”

Subhanallah…

Selain itu, Akhlak mulia Ummul Mukminin juga ialah tidak berbicara pada Ajnabiah dengan suara yang dapat mengundang syahwat dan mendatangkan niatan kejahatan. Mereka bicara dengan jelas tanpa melambai-lambai.

Hendaknya juga wanita mencontoh mereka dengan tidak menjadi ‘wanita jalanan’, karena berada di rumah ialah fitrah seorang wanita. Bahkan sholat , yang merupakan kewajiban , sebaik-baiknya bagi wanita dikerjakan di kamarnya yang tertutup. Subhanallah…

Keluar dari rumah hanya untuk perkara penting dan tidak bertabarruj sebagaima kaum Jahiliah bertabarruj, tak tahu malu, buka aurat, umbar kecantikan dan perhiasan, meninggalkan hijab dan melepas tabir akhlaq dan taqwa.

Dan perempuan sebenarnya punya potensi besar untuk masuk surga…
"Perempuan apabila sholat lima waktu, puasa bulan Ramadhan, memelihara kehormatannya serta taat akan suaminya, masuklah dia dari pintu syurga mana saja yang dikehendaki." (al-Hadist)

Subhanallah.. karena itu bergegas dan bersyukurlah…

Semoga Allah memudahkan

Satu lagi pelajaran dari kisah tersebut bahwa wanita memang kerap cenderung untuk tidak bersabar terutama dalam bidang nafkah. Karena itu, para istri bersabar dan qona’ah atas apa yang dinafkahkan suami bilamana suami sudah berikhtiar maksimal.

Sedangkan mengenai kondisi saat ini, di mana istri mulai banyak mencari nafkah. Hendaknya disadari bahwa tugas utama istri ialah menjadi manajer rumah tangga, Ibu, Murobbiyah bagi anak-anaknya.

Sedangkan bila seorang istri ingin “ikut” mencari nafkah hendaknya memperhatikan hal-hal tertentu seperti izin suami, bentuk pekerjaan dsb….

Syekh Mustafa al-Adawi memberikan criteria saat istri harus mencari nafkah…
1. Pekerjaannya tidak mengganggu kewajiban utamanya dalam urusan dalam rumah, karena mengurus rumah adalah pekerjaan wajibnya, sedang pekerjaan luarnya bukan kewajiban baginya, dan sesuatu yang wajib tidak boleh dikalahkan oleh sesuatu yang tidak wajib.
2. Harus dengan izin suaminya, karena istri wajib mentaati suaminya.
3. Menerapkan adab-adab islami, seperti: Menjaga pandangan, memakai hijab syar’i, tidak memakai wewangian, tidak melembutkan suaranya kepada pria yang bukan mahrom, dll.
4. Pekerjaannya sesuai dengan tabi’at wanita, seperti: mengajar, dokter, perawat, penulis artikel, buku, dll.(sesuai fitrah wanita)
5. Tidak ada ikhtilat (campur baur) di lingkungan kerjanya. Hendaklah ia mencari lingkungan kerja yang khusus wanita, misalnya: Sekolah wanita, perkumpulan wanita, kursus wanita, dll.
6. Hendaklah mencari dulu pekerjaan yang bisa dikerjakan di dalam rumah. Jika tidak ada, baru cari pekerjaan luar rumah yang khusus di kalangan wanita. Jika tidak ada, maka ia tidak boleh cari pekerjaan luar rumah yang campur antara pria dan wanita, kecuali jika keadaannya darurat atau keadaan sangat mendesak sekali, misalnya suami tidak mampu mencukupi kehidupan keluarganya, atau suaminya sakit, dll.

Semoga Allah membimbing kita semua..
Wallahu’alam

Ada hikmah lain sdrku?
Comments
0 Comments

Tidak ada komentar:

Posting Komentar