Dalam
suatu riwayat dikemukakan bahwa Abu Bakar meminta izin untuk bicara
pada Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasalam akan tetapi beliau tidak
mengizinkannya. Demikian juga Umar, tidak diizinkan oleh beliau. Namun,
tidak lama kemudian, keduanya diizinkan masuk di saat Rasulullah
shalallahu ‘alaihi wa salam, duduk terdiam dikelilingi istri-istrinya
(yang menuntut nafkah dan perhiasan). Umar bermaksud menggoda Rasulullah
agar tertawa dengan berkata, “Ya Rasulullah, sekiranya putrid Zaid
(istri Umar) minta belanja, akan kupenggal lehernya.” Maka tertawa
lebarlah Rasulullah shalallahu ‘alaiihi wa salam dan bersabda : “Mereka
yang ada di sekelilingku ini meminta nafkah kepadaku.” Maka berdirilah
Abu Bakar menghampiri ‘Aisyah untuk memukulnya, demikian juga Umar
menghampiri Hafshah sambil keduanya berkata, “Kalian meminta sesuatu
yang tak ada pada Rasulullah?” Maka Allah menurunkan ayat 28 surah
al-Ahzab sebagai petunjuk pada Rasulullah agar istri-istrinya menentukan
sikap (memilih Rasul atau harta benda). Beliau mulai bertanya kepada
‘Aisyah tentang pilihannya dan menyuruhnya bermusyawarah lebih dahulu
dengan kedua ibu bapaknya. ‘Aisyah menjawab : “Apa yang mesti kupilih?”
Rasulullah membacakan ayat 28-29. Dan ‘Aisyah menjawab: “Apakah soal
yang berhubungan dengan tuan mesti bermusyawarah dulu dengan ibu
bapakku? Padahal aku sudah menetapkan pilihan, yaitu Allah dan
Rasul-Nya.”
Subhanallah..
Laki-laki
yang hebat, tentunya ditopang oleh istri yang hebat. Dan itu sudah
dicontohkan oleh istri-istri Rasulullah. Allah muliakan mereka dengan
kedudukan yang mulia sebagai istri Rasul-Nya. Mereka lebih memilih Allah
dan Rasul-Nya ketimbang harta dan perhiasan dunia.
Kedudukan
yang kuat mengakibatkan tanggung jawab yang besar pula. Istri Nabi
berlipat ganda siksa bilamana mereka melakukan dosa sebagaimanapula
mereka akan mendapat pahala berlipat kala taat. Dan sungguh, istri-istri
Nabi semuanya mulia.
Hendaknya
para wanita mengikuti jalan ummul Mukminin, mengikuti jejak-jejak
kemuliaan mereka, melaksanakan perintah Allah dan menjadi tauladan bagi
yang lain. Bagaimana bila Istri pejabat meneladani ummul mukminin yang
hidup sederhana, tidak menuntut harta dunia, sehingga terkikislah
potensi korup oleh suami , menyadari bahwa jabatan itu amanah bukan
peluang untuk memerah. Dsb…
Ingat
kisah Fatimah binti Abdul Malik bin Marwan, istri Umar bin Abdul Azis,
anak seorang khalifah dan juga istri seorang khalifah, ia rela melepas
segala kemewahan kala sang suami menjadi pemimpin dan tokoh besar.
kala
itu, Dengan suara lirih Umar bin Abdul Aziz berkata dengan lembut dan
penuh kasih-sayang kepada sang isteri tercinta, “Fatimah, isteriku...!
Bukankah engkau telah tahu apa yang menimpaku? Beban yang teramat
dipikulkan kepundakku, menjadi nakhoda bahtera yang dipenuhi, ditumpangi
oleh umat Muhammad Shalallahu ‘Alaihi Wasalam. Tugas ini benar-benar
menyita waktuku hingga hakku terhadapmu akan terabaikan. Aku khawatir
kelak engkau akan meninggalkanku apabila aku akan menjalani hidupku yang
baru, padahal aku tidak ingin berpisah denganmu hingga ajal
menjemputku.”
“Lalu, apa yang akan engkau lakukan sekarang?” tanya Fatimah.
“Fatimah...!
engkau tahu bukan, bahwa semua harta, fasilitas yang ada ditangan kita
berasal dari umat Islam, aku ingin mengembalikan harta tersebut ke
baitul mal, tanpa tersisa sedikitpun kecuali sebidang tanah yang kubeli
dari hasil gajiku sebagai pegawai, disebidang tanah itu kelak akan kita
bangun tempat berteduh kita dan aku hidup dari sebidang tanah tersebut.
Maka jika engkau tidak sanggup dan tidak sabar terhadap rencana
perjalanan hidupku yang akan penuh kekurangan dan penderitaan maka
berterus-teranglah, dan sebaiknya engkau kembali ke orang tuamu!” jawab
Umar bin Abdul Aziz.
Fatimah kembali bertanya,”Ya suamiku...apa yang sebenarnya membuat engkau berubah sedemikian rupa?”
“Aku
memiliki jiwa yang tidak pernah puas, setiap yang kuinginkan selalu
dapat kucapai, tetapi aku menginginkan sesuatu yang lebih baik lagi yang
tidak ternilai dengan apapun juga yakni surga, surga adalah impian
terakhirku,” jawab Umar bin Abdul Aziz lagi.
Fatimah
yang notabene merupakan wanita yang terbiasa hidup mewah, dengan
fasilitas yang disediakan dan pelayanan yang super maksimal, tidak
kecewa mendengar keputusan suaminya ia. Ia tidak menunjukan kekesalan
dan keputus asaan. Justeru dengan suara yang tegar, mantap ia
menegaskan,
“Suamiku...!
Lakukanlah yang menjadi keinginanmu dan aku akan setia disisimu baik
dikala susah atau senang hinga maut memisahkan kita.”
Subhanallah…
Selain
itu, Akhlak mulia Ummul Mukminin juga ialah tidak berbicara pada
Ajnabiah dengan suara yang dapat mengundang syahwat dan mendatangkan
niatan kejahatan. Mereka bicara dengan jelas tanpa melambai-lambai.
Hendaknya
juga wanita mencontoh mereka dengan tidak menjadi ‘wanita jalanan’,
karena berada di rumah ialah fitrah seorang wanita. Bahkan sholat , yang
merupakan kewajiban , sebaik-baiknya bagi wanita dikerjakan di kamarnya
yang tertutup. Subhanallah…
Keluar
dari rumah hanya untuk perkara penting dan tidak bertabarruj sebagaima
kaum Jahiliah bertabarruj, tak tahu malu, buka aurat, umbar kecantikan
dan perhiasan, meninggalkan hijab dan melepas tabir akhlaq dan taqwa.
Dan perempuan sebenarnya punya potensi besar untuk masuk surga…
"Perempuan
apabila sholat lima waktu, puasa bulan Ramadhan, memelihara
kehormatannya serta taat akan suaminya, masuklah dia dari pintu syurga
mana saja yang dikehendaki." (al-Hadist)
Subhanallah.. karena itu bergegas dan bersyukurlah…
Semoga Allah memudahkan
Satu
lagi pelajaran dari kisah tersebut bahwa wanita memang kerap cenderung
untuk tidak bersabar terutama dalam bidang nafkah. Karena itu, para
istri bersabar dan qona’ah atas apa yang dinafkahkan suami bilamana
suami sudah berikhtiar maksimal.
Sedangkan
mengenai kondisi saat ini, di mana istri mulai banyak mencari nafkah.
Hendaknya disadari bahwa tugas utama istri ialah menjadi manajer rumah
tangga, Ibu, Murobbiyah bagi anak-anaknya.
Sedangkan
bila seorang istri ingin “ikut” mencari nafkah hendaknya memperhatikan
hal-hal tertentu seperti izin suami, bentuk pekerjaan dsb….
Syekh Mustafa al-Adawi memberikan criteria saat istri harus mencari nafkah…
1.
Pekerjaannya tidak mengganggu kewajiban utamanya dalam urusan dalam
rumah, karena mengurus rumah adalah pekerjaan wajibnya, sedang
pekerjaan luarnya bukan kewajiban baginya, dan sesuatu yang wajib tidak
boleh dikalahkan oleh sesuatu yang tidak wajib.
2. Harus dengan izin suaminya, karena istri wajib mentaati suaminya.
3.
Menerapkan adab-adab islami, seperti: Menjaga pandangan, memakai
hijab syar’i, tidak memakai wewangian, tidak melembutkan suaranya kepada
pria yang bukan mahrom, dll.
4.
Pekerjaannya sesuai dengan tabi’at wanita, seperti: mengajar,
dokter, perawat, penulis artikel, buku, dll.(sesuai fitrah wanita)
5.
Tidak ada ikhtilat (campur baur) di lingkungan kerjanya. Hendaklah
ia mencari lingkungan kerja yang khusus wanita, misalnya: Sekolah
wanita, perkumpulan wanita, kursus wanita, dll.
6.
Hendaklah mencari dulu pekerjaan yang bisa dikerjakan di dalam
rumah. Jika tidak ada, baru cari pekerjaan luar rumah yang khusus di
kalangan wanita. Jika tidak ada, maka ia tidak boleh cari pekerjaan luar
rumah yang campur antara pria dan wanita, kecuali jika keadaannya
darurat atau keadaan sangat mendesak sekali, misalnya suami tidak mampu
mencukupi kehidupan keluarganya, atau suaminya sakit, dll.
Semoga Allah membimbing kita semua..
Wallahu’alam
Ada hikmah lain sdrku?