Nabi
Muhammad bukanlah bapak dari seorang pria pun di antara kalian. Tidak
ada Zaid bin Muhammad tetaplah yang ada Zaid bin Haritsah. Rangkaian
ayat beserta asbabun nuzul dari ayat 36-40 surah al-Ahzab memiliki
sebuah hikmah dan berisi hukum bahwa anak angkat tetaplah anak angkat.
Sehingga Nabi shalallahu ‘alaihi wa salam tidak dilarang menikahi mantan
istri anak angkat beliau, yakni Zainab binti Jahsy.
Zainab binti Jahsy yang dahulu dilamar Rasulullah untuk Zaid, akhirnya dinikahi oleh Nabi setelah bercerai dengan Zaid.
Subhanallah..
Betapa
banyak hikmah dari kisah Zaid bin Haristah. Salah satunya mengenai
asbabun nuzul ayat 36 surah al-ahzab. Kala itu Rasulullah melamar Zainab
binti Jahsy untuk Zaid, tetapi Zainab mengira Rasulullah melamar untuk
dirinya. Saat Zainab tahu bahwa Nabi melamar untuk Zainab , ia
menolaknya. Ini dikarenakan Zainab ialah sosok dari keturunan mulia,
sedangkan Zaid selama ini terkenal sebagai budak. Saudara Zainab, yakni
Abdullah bin Jahsy pun turut menyatakan, tidak setuju, dengan alas an
tidak sepadan, tidak sekuf’u.
Lalu
turunlah ayat 36 sebagai larangan menolak ketetapan Rasulullah. Setelah
turun ayat tersebut, Zainab pun menerima lamaran itu.
Namun,
selang beberapa lama, Zaid pun ingin menceraikan Zainab, Rasulullah
mengatakan, “Pertahankan istrimu (jangan ceraikan) dan bertaqwalah
kepada Allah.” Nabi mencoba mempertahankan mereka, padahal Nabi sendiri
melalui pemberitahuan dari Allah bahwa memang Zaid akan menceraikan
Zainab dan Nabi akan menikahinya.
Akhirnya,
Allah memerintahkan / mengumumkan hal yang dirahasiakan Nabi untuk
menghilangkan keraguan bila ada orang yang mencibir, “Nabi menikahi
mantan anaknya sendiri”.
Selanjutnya,
Nabi pun menikahi Zainab binti Jahsy sebagai tauladan bahwa boleh
menikahi mantan istri anak angkat dan pelajaran bahwa anak angkat
bukanlah anak kandung..
Subhanallah…
Kembali kepada kisah asbabun nuzul ayat 36, khususnya mengenai kufu’ (kesepadanan) atau kafa’ah.
Menurut
Syekh Wahbah Az-Zuhaili, kufu adalah ‘al-mumasalah baina Zaujaini
daf’an lil a’ri fi umurin maksusatin’. Kesepadanan antara pasangan suami
istri untuk mencegah suatu aib (cacat) dalam perkara-perkara khusus
tertentu.
Saat
dalam masa awal, Islam, terlihat bahwa kufu’ dalam Jodoh, fokusnya
Iman, perempuan Islam tidak boleh dikawini oleh laki-laki kafir dsb.
Karena
itu, kisah Zaid dan Zainab bisa terjadi, tetapi terkenal juga sebuah
kisah yakni kisah kala Abdullah bin Umar dengan siasatnya, meminta
tolong Mughirah bin Syu’bah agar menggagalkan maksud Khalifah Umar bin
Khattab menerima pinangan Bilal bin Rabah untuk anak perempuan Khalifah.
Mughirah
datang menjumpai Bilal dan dengan nasehat jujur mengatakan bahwa yang
dia pinang itu adalah anak perempuan Khalifah. Sehingga ayahnya sangat
disegani orang, resikonya sang istri akan bersikap sombong terhadap
suami. singkat cerita Bilal pun akhirnya, berniat membatalkan
pinangannya. Tetapi bagaimana caranya? Padahal lamaran/”proposal” sudah
masuk kepada Khalifah.
Mughirah menjawab : “Biar saya yang mengurus”
Singkat
cerita, Akhirnya, dengan siasatnya pula kepada Umar, Mughirah berhasil
membatalkan rencana pernikahan Bilal dan anak Umar.
Dan
perlu ditekankan bahwa siasat Mughirah dan Abdullah bukanlah usaha
penipuan, mereka berlaku demikian dengan pertimbangan matang.
Berdasarkan
kisah-kisah tersebut bermacamlah dan berpanjanglah perbincangan
mengenai Kufu’. Ulama fiqih berbeda pendapat dalam kufu’
Menurut
Ibnu Abidin (kalangan Hanafiah) bahwa ukuran kufu’ adalah Nasb
(keturunan), Islam, hirfah (profesi), hurriyah (kebebasan), diyanah
(keagamaan), mal (harta).
Sedangkan menurut al-Hattab (Malikiah) ukuran kufu adalah din (agama), as-salamah mina al-‘uyub (tidak memiliki cacat fisik)
Menurut Khatib Syarbaini (Syafi’iah) ukurannya : Nasb, ad-Din, hurriyah, hirfah, as-salamah mina al-‘uyub.
Sedangkan
menurut Ibnu Qudamah (hanbaliah) : diyanah (keagamaan), sina’ah
(pekerjaan), mal (harta) , hurriyah (kebebasan) dan Nasb.
Itulah kufu menurut para ulama.
Namun
demikian, kufu itu merupakan syarat kelaziman dalam pernikahan BUKAN
syarat sah nikah. Berdasarkan hal itu, bila ada pasangan calon suami
istri telah melaksanakan akad nikah padahal tidak sekufu’ maka akad
tetap sah.
Kufu’
hanya satu faktor pendorong rumah tangga. Tidak serta merta tidak
sekufu, tidak boleh menikah, tidak akan bahagia , Lantas bila sekufu
juga tidak serta merta dipastikan akan bahagia .
Dan
yang pasti standarnya ialah apa yang dipesankan Nabi yakni, 4 perkara
kenapa dinikahi yakni kecantikan, harta, nasab dan agamanya. Maka
pilihlah agama niscaya akan beruntung.
Insya Allah memilih karena ketaatan pada agamanya, itu yang terpenting
Semoga Allah memperbaiki kondisi kita.
Aamiin
Wallahu’alam
Ada hikmah lain sdrku??